Cara Rich Dad Didik Rich Son
Banyak yang minta kisah Crazy Rich Surabaya Hermanto Tanoko (HT) diteruskan. "Terlalu sedikit Mas Ali, kisahnya menarik. Jadi inspirasi dan penyemangat," kata beberapa teman dan pembaca kemarin. Memang menarik. Baik kisah ayahnya mendidik dia, maupun kisah dia mendidik anak-anaknya. Karena itulah Dahlan Iskan mengundang pemilik pabrik cat Avian dan air kemasan Cleo dan 75 perusahaan lainnya ini, dalam talk show launching Harian DI's Way dua hari lalu. Pengusaha sukses yang di kalangan pengusaha lainnya dinilai sangat humble, rendah hati, dan lurus ini, tak hanya sukses membesarkan perusahaannya, tapi juga sukses mengader empat anak dan menantunya untuk membesarkan perusahaannya yang kini punya 300 brand. Saya ulang sedikit dari ayah HT, Soetikno Tanoko, mengajari arti uang dan dagang kepada lima anaknya. Kisahnya, saat HT berumur 5 tahun. Tradisi di keluarganya, setiap imlek, semua anak dapat angpao. Nah, daripada angpao ini hanya dititipkan kepada ibunya, oleh ayahnya, diberitahu apakah mau uang angpaonya dibelikan terigu karena harganya akan naik dan keuntungannya nanti diberikan kepada mereka. Semuanya mau. "Sejak saat itu, tiap hari, saya tanya ke Mama di toko. Ma, terigunya, sudah naik belum. Kalau sudah naik, hati ini senang karena uangnya tambah," kata HT. "Dari situ, kami senang berdagang," lanjut pemilik Hotel Bintang Lima Vasa di Jalan HR Muhammad Surabaya ini. Salah satunya yang lantas diterapkan oleh HT adalah jualan kelereng. "Saat umur enam tahun, saya sudah titip jualan kelereng ke toko Mama. Kisahnya begini: karena tak punya kelereng, saya latihan main kelereng dengan batu. Saya cari yang bunder dan besarnya seperti kelereng. Saya latihan terus menerus. Harus titis, akurat. Nah, ketika sudah pinter. Saya bilang kepada teman yang kalahan, aku mainkan ya. Teman saya mau, karena menang, saya dapat hadiah kelereng. Begitu sudah dapat kelereng, saya main sendiri. Menang saya banyak sekali. Berkaleng-kaleng. Saya pilihi yang masih baru dan kencling, saya cuci pakai sabun. Yang kelihatan masih baru, saya titip jual ke toko. Harganya lebih murah dari yang lain. Laris. Seneng sekali," katanya. Begitu juga ketika sedang musim umbul, kertas bergambar pahlawan, tokoh wayang, atau binatang yang dimainkan dengan menerbangkannya. Jika gambarnya di atas, menang. "Saya sering menang. Umbul saya yang menangan, saya tukar dengan umbul baru yang dibeli teman-teman. Umbul baru yang belum dipotong ini, saya titip jual ke toko Mama. Seneng dapat uang lagi," katanya. Ketika umur 9 tahun, sudah tak main kelereng dan umbul lagi. Pulang sekolah, langsung diajak ke toko cat milik papanya. "Sebetulnya, papa mau jualan polowijo. Tapi, karena ukuran toko yang disewa papa hanya ukuran 1,5 meter kali 13 meter. Akhirnya oleh saudara papa, disuruh jualan cat saja. Ya itu, kisahnya. Kebetulan yang membawa hikmah," katanya. Karena sering diajak ke toko, HT tahu mana cat yang laku, mana yang tidak. Mana yang cuan (untung) banyak mana yang sedikit. "Saya akui Papa sangat telaten mengajari saya. Papa tunjukkan cat ini mereknya belum terkenal, kalau bisa terjual, cuannya banyak. Padahal, kualitasnya bagus, kalah merek saja," kata Papa. Sejak itu, jika ada yang beli, saya beritahu. "Ini lho cat baru, murah tapi kualitasnya lebih bagus," kata MT berpromosi. "Anehnya, kebanyakan pembeli mau. Mungkin, karena saya masih anak kecil, umur 9 tahun, dianggap omongannya tidak mbujuk, tidak bohong," katanya tertawa. MT juga berlatih mencampur cat. "Papa mengajari ini cara mencampur cat untuk sepeda motor, untuk mobil. Karena banyak variasi warnanya banyak yang suka. Apalagi, papa tidak pelit. Orang beli 1 kilo, ternyata kelebihan 3 atau 4 ons, tetap diberikan gratis. Itu yang membuat toko cat papa laris," katanya. Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: