Di Ranu Kumbolo, Tubuhnya Dipeluk Lembut dari Balakang

Di Ranu Kumbolo, Tubuhnya Dipeluk Lembut dari Balakang

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Spontan Nanang meraih baju di cantolan untuk menutupi bagian tubuhnya yang paling vital. Dia juga meraih handuk untuk membungkus tubuh Ningsih. Setelah itu, pemuda berjenggot tipis ini jatuh terduduk dan menangis sesenggukan. Melihat itu, Ningsih terpaku. Sejenak kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu kamar tidur. Dia keluar setelah mengenakan pakaian lengkap yang sopan. Dibimbingnya Nanang berdiri. Dituntun masuk kamar tidur. Ningsih juga mengambil pakaian Nanang yang masih tertinggal di kamar mandi, menyerahkannya kepada Nanang yang sedang terkulai lemas di kamarnya. Ningsih lantas keluar. Setengah jam kemudian dia balik ke kamar dan mengetuk pintunya. “Ningsih meminta maaf,” tutur Nanang. Ningsih mengaku sangat terharu melihat Nanang yang begitu komit menjaga kehormatannya. Dia juga mengaku tidak menyangka mempunyai kekasih seperti itu. Di era milenium seperti sekarang ini, mungkin Nanang adalah satu di antara seribu pemuda yang mampu bersikap begitu. Atau, barangkali bahkan satu di antara sejuta. Allahu a’lam. Pengalaman kedua dihadapi Nanang sewaktu mendaki Semeru bersama kelompok pecinta alam kampus. Waktu itu rombongan sedang beristirahat di tepian Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan tenda di bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tersebut. Kebetulan Ningsih yang sebenarnya masuk dalam kelompok pecinta alam itu sedang sakit, sehingga tidak ikut bergabung. Bakar-bakar kambing guling yang mereka beli dari warga kampung di lereng tadi menyemarakkan suasana. Setelah puas makan minum, mereka berpencar sesuai keinginan masing-masing. Ada yang langsung tidur. Ada yang jalan-jalan menikmati kesegaran udara dan keindahan alam semesta. Ada yang genjrang-genjreng bermain gitar dan nyanyi-nyanyi. Dll. Dsb. Dst. Nanang memilih menyendiri, duduk di sebuah batu besar di bibir ranu. Mengukur kedahsyatan sang pencipta. Pikirannya melayang jauh ke atas langit, yang mulai menampakkan bintang-gemintang: apakah di sana ada juga pemuda yang merindukan kekasihnya sedang menatap langit? Seperti dirinya? Tiba-tiba Nanang merasakan ada tangan melingkari tubuhnya. Aroma harum menyeruak. Mirip bau Ningsih. Hanya mirip, tapi bukan. Namun, rasanya tidak mungkin Ningsih sembuh secepat ini dan menyusulnya ke Semeru. Sangat tidak mungkin. Benar saja. Setelah menoleh, Nanang dikejutkan oleh senyum gadis cantik sahabat Ningsih, sebut saja Riamah. Spontan Nanang akan bersuara. Tapi sebelum sempat terucap satu kata pun, jari Riamah ditempelkan ke bibir Nanang. “Tidak usah takut. Ini rahasia kita berdua,” kata Riamah sambil menurunkan jari-jemarinya dari bibir ke dada Nanang, lantas berusaha melepas kancing teratas baju pemuda berperawakan tinggi tersebut. Nanang kaget. Dia segera menepis lengan Riamah dan sedikit mendorongnya. “Kamu jangan munafik. Ningsih sudah menceritakan semua. Ini hanya di antara kita berdua. Tidak akan ada yang tahu. Termasuk Ningsih,” kata Riamah dengan napas tersengal. Nanang spontan berpikir: apa yang diceritakan Ningsih sehingga Riamah nekat berbuat semacam ini? “Ayolah. Tidak akan terjadi apa-apa. Kita sudah dewasa dan bisa menjaga diri masing-masing,” desak Riamah sambil mendekatkan tubuhnya untuk dipeluk Nanang. (bersambung)  

Sumber: