Saat Mandi, Tiba-Tiba sang Pacar Berdiri di Hadapannya
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Nanang (25, samaran) sudah cukup lama berpacaran dengan Ningsih (24, samaran juga). Sejak kuliah semester dua. Walau demikian, dia sama sekali belum pernah memperkenalkan pacarnya tersebut kepada keluarga. Kini, setelah lulus dan sudah bekerja, Nanang merasa inilah saat yang tepat untuk itu. “Bukan tanpa alasan aku tidak memperkenalkan Ningsih kepada keluarga,” kata Nanang mengawali curhatnya kepada Memorandum via telepon, akhir pekan lalu. Nanang mengaku selalu teringat pesan ayahnya saat dia merayakan ulang tahun yang ke-17, delapan tahun lalu. Waktu itu ayahnya, sebut saja Erfan (56), berpesan agar Nanang tidak terburu-buru berpacaran dan menikah. Kalaupun tak kuat menahan keinginan untuk pacaran, Erfan masih membolehkan, asalkan Nanang mampu menjaga kehormatan pacarnya tadi. Sampai saatnya tiba. Sampai hari suci pernikahan. “Kalau kamu sanggup melakukan itu, Papa bersumpah: kamu bakal benar-benar bisa merasakan nikmatnya surga dunia,” pesan Erfan saat itu. Ditambahkan sang ayah, rasa penasaran bagaimana sih nikmatnya malam pertama bisa menimbulkan sensasi luar biasa bila saatnya tiba, “Masuk kamar pengantin saja, sekujur tubuh rasanya sudah kayak gringgingen. Mriang.” Erfan menambahkan agar Nanang tidak terbawa arus muda-mudi zaman now yang sok-sokan modern tapi sebenarnya kembali ke zaman jahiliyah. Banyak cowok yang minta persekot pacarnya sebelum menikah. Sebaliknya, banyak juga cewek yang menyodorkan kesuciannya semata untuk membuktikan cinta. Prekethek. Tapi, ternyata tidak mudah bagi Nanang menjaga kecucian seperti pesan ayahnya. Baik kesucian diri sendiri maupun kesucian pacar. Selama berpacaran dengan Ningsih, Nanang mengaku belasan kali memiliki peluang untuk melanggarnya. Pertama, ini yang paling Nanang ingat. Kala itu kalender menunjukkan dua tanggal merah berimpitan. Kamis dan Jumat. Belum ada libur Sabtu, tapi banyak orang memperlakukan Sabtu hari itu sebagai hari libur kecepit karena diapit tanggal merah. Semua anggota keluarga Ningsih pulang kampung. Ningsih tinggal sendirian di rumah karena Seninnya harus menghadapi ujian semester. “Kami bersama beberapa teman belajar bersama di rumah dia. Mulai Kamis hingga Minggu. Tiap hari,” kata Nanang. Minggu, ketika semua teman sudah pamit pulang, Nanang diminta Ningsih untuk tinggal. “Aku akan memberi hadiah kejutan untuk Ayang,” kata Ningsih waktu itu. Nanang penasaran. Sebab, seingatnya hari itu bukan hari istimewa baginya. Bukan hari ulang tahun, bukan hari jadian mereka, bukan… ah sudahlah. Nanang akhirnya menuruti kehendak Ningsih. Tetap tinggal. Tapi, ditunggu lama ternyata tidak juga ada kejutan. Ningsih hanya mengajaknya makan tahu tek yang lewat di depan rumah. Setelah itu Ningsih meminta Nanang mandi terlebih dahulu agar tubuhnya bersih dan segar. Nanang makin penasaran: kejutan apa yang bakal diberikan kekasihnya tersebut? Nanang menuruti saja kemauan Ningsih. Dengan benak penuh pertanyaan, dia masuk kamar mandi dan membersihkan tubuh. Gebyar-gebyur… gebyar-gebyur… sok osok-osok. Tanpa disangka, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Byak… astaghfirullah... Nanang melihat Ningsih berdiri di hadapannya. Polos los-los-los. Seperti bayi usia 21 tahun. Jangankan sehelai benang, setengah atau seperempat helai benang pun tidak ada yang melekat di tubuhnya. (bersambung)
Sumber: