Musim Dangkal

Musim Dangkal

Oleh: Dahlan Iskan Musim durian tiba. Yang menyengat tidak hanya aroma. Tapi juga suasana. Durian kulitnya tajam. Demikian juga lidah manusia. Khususnya di musim hati didudukkan di kursi. Ketika yang dibicarakan hanya kulit-kulitnya. Tapi menusuk sampai dagingnya. Hanya permukaannya. Tapi membekas sampai sanubarinya. Ketika jarak pandang sangat dekat. Suluk masa depan terselimut kabut. Inilah musim yang membuat orang seperti Kyai Yusuf tidak mendapat angin. Ketika filsafat tidak dapat tempat. Ketika sufi dianggap sepi. Siapa yang masih laku untuk bicara esensi. Ketika retorika lebih mengungguli. Di mana lagi kita bisa bertanya: mengapa posisi Tuhan lebih dekat dari tubuh diri manusia. Bahkan dari urat lehernya. Di mana sebenarnya Tuhan. Terutama ketika Raja Arab membuka pintu “bait Allah”. Dan mendapatkan di dalamnya ruang yang kosong. Di manakah gerangan qalbu. Di saat semua orang hanya bersilat lidah. Perlukah masa lalu diingat-ingat. Dan masa depan dipercepat. Kalau tidak ada yang fokus untuk jati diri masa kini. Padahal, padahal, padahal. Adakah agama yang tidak memperbincangkan ketinggian? Yang tidak mengajarkan cara memanjat ketinggian? Tapi, tapi, tapi. Mengapa hati bisa lebih tinggi dari pagoda di atas tebing. Dari menara masjid yang menuding langit. Dari lonceng gereja di puncak menara. Di manakah lagi panggung diskusi tentang pencucian hati. Ketika semua trotoar dipenuhi slogan kedudukan. Siapakah lagi yang masih mengajarkan tata-cara membersihkan hati. Ketika semua debu dilumurkan ke qalbu. Dan hati yang berdebu dianggap sama sexy-nya dengan kelepon berbalut kelapa parut. Di manakah ruang diskusi jalan menemukan Tuhan. Ketika semua jalan kebanjiran uang untuk mencari kursi. Sungai sudah kehilangan kedungnya yang dalam. Yang tersisa hanyalah dasarnya yang kian dangkal. Tidak ada lagi semedi. Tidak ada mawas diri. Tidak ada tempat untuk para sufi. Inilah musim hati kemrungsung. Dada membusung. Perut melembung. Tenggorokan melengkung. Ludah menjadi gelembung-gelembung. Penuh racun. Ke mana Toto Asmara. Setelah lama meninggal dunia. Zikir sudah minggir. Pun, pun, pun. Bersahabat sudah dianggap sama dengan mengucapkan syahadat. Bait Allah disamakan dengan bangunan berkubah. Tidak ada lagi diskusi puisi. Ketika puisi juga dicabut dari esensi. Ketika semua dahan dipaku untuk slogan. Inilah sungai dangkal. Dengan dewa sekelas Narada. Dengan urea sosial media. Esensi dijauhi. Rating dikejar. Hati diperdagangkan.(*)

Sumber: