Memenangkan Pertaruhan dengan Objek Anak Camat

Memenangkan Pertaruhan dengan Objek Anak Camat

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Mala (28, bukan nama sebenarnya) bahagia ketika lima tahun lalu diperkenalkan omnya, sebut saja Supriadi, kepada seorang pemuda, Wahyu (30, samaran). Wajahnya ganteng. Bodinya atletis. Saking gantengnya, wajah Wahyu kadang lebih tampak seperti perempuan. Tentu saja perempuan cantik. Kebanggaan Mala, yang sebelum menikah tinggal di Gundik, Slahung, Ponorogo, terhadap Wahyu kadang diekspresikan secara berlebihan. Foto Wahyu selalu digembol dan diperlihatkan kepada siapa pun. Hampir ke seluruh warga. “Dia dulu memang dikenal sebagai perawan desa yang syantik,” kata Eli, sepupu Mala, yang mengantarkan saudaranya ini ke Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Eli tidak berlebihan. Wajah Mala memang cantik. Mirip Ariel Tatum. Bodinya tak kalah mengagumkan. Bak gitar Spanyol. Lekuknya mempertontonkan kepadatan dan pahatan yang sempurna. Saking cantiknya dibanding cewek-cewek sebayanya di daerahnya, sampai tidak ada pemuda yang berani mendekati Mala. Banyak cowok yang terburu menyerah sebelum berusaha. Kalah sebelum perang. Pernah ada anak camat yang sekolahnya bersebelahan dengan SMA tempat Mala bersekolah. Anak tersebut kabarnya naksir berat kepada Mala. Hal itu disampaikan melalui teman sebangku Mala. Bagaimana tanggapan Mala? Cowok tadi diminta menemuinya di taman alun-laun. Ditantang untuk menyatakan cinta. Pada jam yang ditentukan, Mala mengunggu sang cowok. Tapi lewat setengah jam, cowok tadi belum juga ngongol. Lebih dari sejam, masih belum tampak. Ketika hampir dua jam, baru si cowok muncul. Bajunya basah kuyup dan tubuhnya gemetaran. Padahal, saat itu tidak sedang hujan. Dia diantar teman sebangku Mala. Wajah innocent-nya selalu disimpan dengan cara menunduk. Sesekali dia seperti ragu dan hendak kabur meninggalkan tempat. Kalau teman yang berada di sampingnya tidak memaksa, pasti dia tidak akan melanjutkan rencananya menemui Mala. Hanya sesekali wajah tadi didongakkan. Cuma sekejap, untuk mencuri pandang ke arah Mala yang duduk anggun di sebuah kursi semen. Berbeda dengan mata si cowok yang sesekali mencuri pandang, mata Mala selalu diarahkan tajam ke mata  cowok tadi. Tet pukul 12.00 mereka duduk berhadapan. Mala diam. Demikian juga si cowok. Dahinya mengucurkan keringat deras. Juga ketiaknya. Bajunya makin kuyup. Matanya nanar. Tidak menatap siapa pun. Mulutnya komat-kamit tapi tanpa mengeluarkan suara. Begitu berlangsung lebih dari 20 menit. Mala dengan sabar menungguinya sambil sesekali melihat jam tangan. Setelah lebih dari setengah jam, dan cowok tadi belum juga mengeluarkan isi hatinya, mak-nyet… Mala berdiri dan meninggalkan tempat. Tangannya sempat menyambar amplop di tangan teman sebangkunya. “Tahu apa yang terjadi?” tanya Eli kepada Memorandum. Tanpa menunggu jawaban, Eli menjelaskan bahwa Mala memenangkan taruhan. Dia bertaruh cowok tadi tidak akan mampu berkata-kata ketika berada di hadapannya. Sedangkan teman sebangkunya, bertaruh si cowok dengan lancar akan menyatakan cintanya kepada Mala. Menurut Eli, ini adalah salah satu karakter Mala. Sejak kecil Mala selalu percaya diri (PD), bahkan ingin menang dan memang selalu menang. Tidak pernah berada di bawah atau dikalahkan. “Mala dimanjakan orang tuanya,” jelas Eli. Baru kali ini Mala ketemu batunya. Menemukan sandungan. Celakanya, batu itu teronggok pada saat dia harus betul-betul serius menapaki masa depan. Ketika Mala memilih dipersunting Wahyu. (bersambung)  

Sumber: