Tanah Pamurbaya Dirampas untuk Konservasi, Nasib Warga Semakin Terpuruk

Tanah di wilayah Pamurbaya yang masuk dalam kawasan konservasi.--
SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Warga pesisir yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban Konservasi Pamurbaya (FK3P) mengungkapkan penderitaan panjang akibat kebijakan Konservasi yang diterapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sejak tahun 2007. Ketua FK3P, H. Muhammad Choirul Anam, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut justru merugikan masyarakat karena hak atas tanah mereka dirampas tanpa ada solusi konkret.
Pada tahun 2007, Pemkot Surabaya menetapkan lahan seluas 2.500 hektar di wilayah Pamurbaya sebagai kawasan konservasi. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem melalui penanaman mangrove, meningkatkan kualitas air, dan mendukung produktivitas tambak warga. Namun, harapan tersebut tidak pernah terealisasi.
BACA JUGA:Dokumen Penolakan Reklamasi Pamurbaya Diterima Menteri KKP, Komisi C Dukung Perjuangan Warga Pesisir
Mini Kidi--
“Awalnya, kami diajak bekerja sama dengan janji bahwa konservasi akan membantu petani tambak meningkatkan produksi. Faktanya, sejak tahun 2007, hasil tambak malah gagal panen karena kualitas air semakin buruk,” ujar Anam.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa Pemkot tidak pernah memberikan penyuluhan atau penjelasan kepada warga terkait penyebab gagal panen tersebut. Akibatnya, masyarakat hanya bisa pasrah melihat sumber penghidupannya hilang begitu saja.
Dari total luas lahan konservasi 2.500 hektar, sebagian besar merupakan tanah milik warga. Namun, meski status kepemilikan tetap berada di tangan warga, hak mereka untuk mengelola tanah dibatasi secara ketat. Warga dilarang mendirikan bangunan, memotong pohon, menjual, atau bahkan membuat surat-surat resmi terkait tanah mereka.
BACA JUGA:Antisipasi Banjir Rob, BPBD Surabaya Dirikan Posko di Pamurbaya
“Kami masih harus membayar pajak tanah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa dengan tanah itu. Bahkan di beberapa wilayah warga tidak bisa mengurus KTP karena tanah mereka diklaim sebagai lahan konservasi,” ungkap Anam.
Ia menambahkan bahwa banyak warga yang terjebak dalam situasi sulit. Di satu sisi, mereka harus membayar pajak tanah yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah, namun di sisi lain, mereka tidak bisa menjual atau memanfaatkan tanah tersebut untuk kebutuhan ekonomi.
Selama 17 tahun sejak penetapan kawasan konservasi, warga telah berulang kali mendatangi DPRD Kota Surabaya, DPRD Jawa Timur, hingga Pemkot Surabaya untuk meminta revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang konservasi. Namun, upaya tersebut selalu menemui jalan buntu.
BACA JUGA:Nasib Menggantung, Warga Pamurbaya Menuntut Keadilan
“Setiap pergantian walikota, kami selalu datang meminta agar Perda ini direvisi. Bahkan Pemkot secara resmi menyatakan bahwa mereka tidak akan membeli lahan konservasi karena sudah tidak membutuhkannya,” kata Anam.
Pernyataan tersebut membuat warga semakin kehilangan harapan.
Sumber: