Suruh Suami Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo

Suruh Suami Menitipkan Orang Tua ke Panti Jompo

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Ternyata tidak mudah mengusung Yangti, sapaan Eli, ibuda Toni, ke rumah. Orang tua tersebut terpaksa membuka hari pertama di rumah Toni dengan kemarahan. Masalahnya, Yangti tidak terima Toni disuruh-suruh dan dibentak-bentak istrinya. Waktu itu Yangti merasa penat di dalam kamar dan ingin menghirup udara segar dengan duduk-duduk di reras. Maya sedang menerima telepon di ruang tamu. Mendengar Yangti ingin ke teras, Maya meneriaki Toni agar mengambilkan kursi untuk ibunya. Rupanya Toni tidak mendengar. Maya mengulangi permintaannya. Belum juga didengar. Maya lantas berdiri dan melangkah masuk kamar sambil membentak-bentak Toni. Fakta ini sangat menyakitkan Yangti. Rupanya dia tidak  menerimakan anaknya diperlakukan seperti itu. Di mata perempuan sepuh ini, tidak pantas seorang istri menyuruh-nyuruh suami. Apalagi sampai membentak-bentak. Pamali! Setelah kejadian itu, Yangti memanggil mereka. Yangti mengacu kecewa melihat anak lelakinya tersebut berada di ketiak istri. Yangti juga memarahi Maya yang dinilai tidak bisa menempatkan diri sebagai istri. Menurut Yangti, suami adalah kepala keluarga yang harus dihormati dan disegani. Tidak diperlakukan seperti jongos. Sebaliknya, istri harus tunduk patuh terhadap suami. Istri harus melakukan apa pun kata suami. Tidak disangka, tiba-tiba Maya berdiri. Dia membantah semua perkataan Yangti yang dianggap kuno. Dia juga mengaku terpaksa menerima Yangti di rumah. Itu pun untuk sementara. Sebab, dia berencana menyuruh Toni untuk menitipkan Yangti di panti jompo. Yangti tak kalah emosi. Perempuan 75 tahun yang masih tampak sehat ini berdiri dan langsung melangkah masuk kamar. “Pulangkan aku ke rumah almarhum bapakmu atau kau usir perempuan tidak punya sopan santun ini dari rumahmu,” tutur Yangti ditujukan kepada Toni. Toni terpaku. Dia hanya mampu berdiri, tak mampu sedikit pun menggerakkan tubuh. Dia merasa sedang berada di antara dua batang tumbuhan simalakama. Satu menjepit dari samping kakan, satu lagi menjepit dari samping kiri. Toni tidak berani membantah perkataan istrinya, di sisi lain juga tak bermaksud menyalahi ibunya. Akhirnya cuma bisa membisu. Tidak lama kemudian Maya mendekatinya dan berbicara keras, sengaja dikeras-keraskan, “Silakan memilih!” Hari itu, hari pertama ibunda tinggal di rumahnya, Toni tak mampu berpikir dengan akal sehat. Maka, diputuskannya untuk tidak masuk kamar tidur. Toni memilih leyeh-leyeh di sofa ruang tamu sambil berinteropeksi. Toni teringat kali pertama bertemu Maya. Teringat bagaimana awal jadian mereka. Teringat bagaimana memperkenalkan Maya kepada orang tua. Ini yang menarik. Walau sudah jadian sejak kelas satu SMP, Toni baru memproklamasikan hubungannya ketika duduk di bangku awal kuliah. Waktu itu ibunya sudah mengingatkan Toni soal Maya. Kata ibunya, “Maya tampaknya bukan perempuan ideal untuk kamu. Cantik, memang. Tapi, dia tidak bakalan mampu membahagiakan suami. Ini tampak dari gerak tubuhnya yang penuh kepura-puraan dan gaya bicara yang dibuat-buat.” Toni tidak percaya. Sebab, selama berpacaran dengannya, Maya tampak sebagai sosok perempuan yang baik. Penuh pengertian. Pandai mengalah. Dan hormat kepada orang tua. (bersambung)

Sumber: