Gema Mendunia
Oleh: Dahlan Iskan Saya melongok ke luar jendela. Dari kamar saya di lantai 9. Di Swiss-Belinn Singkawang yang masih baru. Terlihat kelenteng besar di seberang jalan. Terlihat juga gunung Puting di belakangnya. Gunung itu diberi nama Puting karena bentuknya yang seperti ujung payudara wanita. Kata orang sana. Jam 6 pagi saya turun ke lobby. Untuk memulai perjalanan keliling kota Singkawang. Mengamati detail-detailnya. Saya ingin tahu: ada perubahan apa. Setelah lebih setahun Tjhai Chui Mie menjadi wali kota. Yang begitu luas menjadi pembicaraan di mana-mana. Tidak hanya Tionghoa, tapi juga wanita. Jam sepagi itu suara genderang sudah mulai terdengar. Dung-dung-ceng. Dung-dung-ceng. Di kelenteng pusat kota. Kelenteng tertua yang di simpang tiga. Begitulah suasana sehari sebelum puncak Cap Go Meh. Yang jatuh pada hari Selasa kemarin. Singkawang kembali menjadi pusat perhatian. Begitu besar nama Singkawang. Semua itu dimulai Minggu malam: karnaval lampion. Dilanjutkan Senin sore: upacara buka mata naga. Pun sejak Sabtu lalu kesibukan sudah terlihat di semua kelentengnya. Di halamannya. Mereka membuat kendaraan hias. Atau tandu berbunga. Mereka bergotong-royong membuatnya. Tidak ada yang dikerjakan kontraktor. Singkawang memang mendapat gelar ”kota seribu kelenteng”. Seperti Lombok bergelar ”seribu masjid”. Dan Manado ”seribu gereja”. Di puncak perayaan Cap Go Meh itu semua kelenteng mengeluarkan dewa andalan mereka. Berupa patung. Yang selama itu ditempatkan di altar puja. Di sembahyangi. Dipuja. Dewa-dewa itu dinaikkan kendaraan hias. Atau tandu bersolek. Dewa itu dipikul beramai-ramai. Dengan gaya pikulan masing-masing. Ada yang sambil menari. Sambil jingkrak. Sambil muter-muter. Dengan iringan dung-dung-ceng. Di belakang setiap dewa. Diiringi pula liong. Dan barongsai. Dewa dari satu kelenteng bisa diarak oleh tim yang beranggotakan 20 orang. Bayangkan riuhnya. Dan panjangnya. Apalagi ada satu kelenteng yang mengeluarkan dua dewa. Atau tiga. Dengan tim yang lebih besar. Dengan iringan yang lebih panjang. Dengan tetabuhan yang lebih meriah. Dengan kostum pakaian yang lebih beragam. Betapa gemuruhnya kalau seribu kelenteng turun ke jalan bersama. Tumplek blek. Ke pusat kota Singkawang. Lalu keliling kota. Bermuara di stadion. Dengan atraksi tambahan yang sangat khusus: tatung. Yang tusuk-tusuk wajah itu. Yang ngeri-ngeri-ngilu itu. Yang hanya ada di Singkawang. Di panggung khusus yang dijaga ”dua singa” raksasa. Itu tidak hanya di Singkawang. Di Bogor juga ada karnaval Cap Go Meh. Saya sesekali menghadirinya. Hanya saja Cap Go Meh Bogor tahun ini diganti dengan Street Festival. Tidak ada dewa yang diarak ke jalan. Di Manado juga seru. Hanya saja tidak tiap tahun. Tergantung apa kata petinggi kelenteng. Suhu kelenteng sendiri tergantung ”apa kata langit”. Biasanya seperti ini: dua hari sebelum Cap Go Meh ada pengumuman. Ditempel di kelenteng. Misalnya: ”Dewa tidak keluar. Berarti tidak ada perayaan Cap Go Meh tahun ini”. Atau sebaliknya: ”Tahun ini dewa berkenan keluar. Berarti ada perayaan Cap Go Meh”. Bagaimana dengan tahun ini? Keluarkah dewanya? Ternyata keluar. Karena itu perayaan Cap Go Meh kemarin meriah sekali di Manado. Tapi bintangnya memang tetap Singkawang. Cap Go Meh Singkawanglah yang mendunia. Nama Singkawang ibarat tong yang sangat besar. Dengan suara yang sangat nyaring. Adakah tong itu sudah terlalu besar untuk tubuh Singkawang yang nyata? Adakah bunyi itu terlalu nyaring untuk telinga Singkawang yang asli? Itulah beban yang ada di gendongan Tjhai Chui Mie. Wali kota Singkawang saat ini. Tugasnya sangat berat. Untuk membuat Singkawang sebagus dan secantik nama besarnya. Jangan seperti sekarang. Nama besarnya tidak imbang dengan realitasnya. Saya bayangkan ”beban” wali kota baru itu begitu besarnya. Masih terlalu banyak yang harus dibenahi di Singkawang. Boleh dikata Singkawang hari ini belum banyak berubah dari saat saya ke sana lima tahun lalu. Parit-paritnya masih sama: terlalu kecil, kotor dan tak terawat. Pun nyaris belum ada trotoar di kota ini. Kalau pun ada sama sekali tidak terurus. Sampah juga di mana-mana. Puntung rokok berserakan. Pusat kotanya semrawut. Kaki limanya perlu diperhatikan. Intinya: seperti belum ada ”tata kota” di Singkawang. Untunglah turis tidak akan melihat semua itu. Tertutup oleh keramaian Cap Go Meh. Terlena oleh gegap-gempitanya. Tak terasa sudah setahun lebih Tjhai Chui Mie jadi wali kota. Tinggal empat tahun lagi. Semoga sempat berbenah. Mengisi tong yang begitu besar. Agar suara nyaringnya semerdu gemanya.(*)
Sumber: