Malu Nembak Duluan, Diingatkan Sejarah Sayyidah Kadijah

Malu Nembak Duluan, Diingatkan Sejarah Sayyidah Kadijah

Yuli Setyo Budi, Surabaya Ketika Azam kembali ke Mesir, Dijah merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Tanpa disadari, hal itu sangat mempengaruhi sikap dan tingkah laku gadis ini. Jadi pendiam dan mudah marah. Dijah baru menyadari perubahan itu setelah diajak dialog Bu Nyai. “Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal hatimu. Utarakan saja. Kalau Bu Nyai bisa membantu, insha Allah Bu Nyai akan bantu.” Tenggorokan Dijah tercekat. Dia merasa memang ada sesuatu yang dirasakan, tapi dia tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya. “Bu Nyai pernah seusiamu. Walau begitu, Bu Nyai tak berani menebak apa yang sedang menggelisahkanmu.” Mendengar itu, Dijah merasa Bu Nyai sebetulnya mengerti apa yang sedang dia rasakan namun tidak berani serta merta mencampurinya. “Saran Bu Nyai, jangan menyiksa diri dengan menyimpan kegundahan. Sebab, kegundahan dapat menyempitkan dan mematikan hati.” Dijah semakin yakin Bu Nyai bisa membaca dan memiliki solusi atas persoalan yang sedang dia rasakan. Masalahnya, haruskah Dijah berbagi masalah tersebut dengan Bu Nyai? Atau lebih baik menyimpannya lebih dalam? “Cinta adalah karunia. Setiap manusia pasti merasakannya. Bukan untuk disimpan, tapi untuk diskspresikan. Setiap orang bebas mengekspresikannya. Hanya, dalam agama kita, ada cara-cara yang dituntunkan.” Kali ini Dijah haqqul yaqin Bu Nyai bisa membaca isi hatinya. Dan, tidak meleset. Tanpa sadar tiba-tiba Dijah menghamburkan diri ke dalam pelukan perempuan yang sudah dianggap sebagai ibu kandung itu. Dijah tidak ragu-ragu lagi menumpahkan air mata. Dekapan Bu Nyai semakin menderaskan derai air mata tersebut. Apalagi, disusul belaian di punggung dan kecupan di kening. “Tapi, mungkinkah Nyai?” tanya Dijah pendek. “Kau ingat sejarah Rasulullah dengan Sayyidah Khadijah?” Setelah itu Bu Nyai membantu Dijah mengomunikasikan masalah tersebut ke orang tua Dijah. Tidak ada masalah. Mereka mendukung dan merestui keinginan anaknya. Mereka setuju walau pihak perempuan yang nanti harus melamar pihak lelaki. Toh hal semacam ini sudah dicontohkan Rasulullah. “Abi dan Umi siap melamar Kak Azam,” tutur Dijah dalam majelis tersebut, disusul senyum. Pasca memastikan kemantaban hati Dijah dan memastikan restu kedua orang tua gadis tersebut, Bu Nyai kembali mengayunkan langkah selanjutnya. Menghubungi Azam. Kepada pemuda itu, Bu Nyai menyatakan isi hati Dijah dan mengaku berniat mempersatukan mereka. Tumbu oleh tutup. Klop. Tanpa pertimbangan panjang lebar, Azam menyatakan tidak berani membantah kehendak Bu Nyai. Artinya, Azam pasrah terhadap apa pun yang dianggap baik. Senyum Bu Nyai, yang saat menelepon didampingi Dijah, memberikan pertanda positif bagi gadis tersebut. Tanpa sadar, tangan kanan Dijah yang sedari tadi menggenggam tangan Bu Nyai memperkeras genggamannya. Bu Nyai membalas ekspresi kegembiraan Dijah dengan memeluk dan mengecup keningnya. Tinggal selangkah lagi perjuangan Bu Nyai mempersatukan cinta Dijah vs Azam: Menghubungi orang tua Azam. Bu Nyai yakin langkahnya akan berlangsung mulus. Bu Nyai juga yakin orang tua Azam akan memberikan restunya. Namun, apa yang terjadi? (bersambung)

Sumber: