Meski demikian tentu ini tidak mudah, karena pada pelaksanaannya di lapangan harus disiapkan betul. Mulai dari kurikulumnya, sarana prasarana, guru pendamping yang tepat, dan sosialisasi orang tua.
"Kurikulum nya harus disiapkan, karena kurikulum nya nggak bisa dengan kurikulum standar yang ada. Pasti harus disiapkan kurikulum khusus bagi anak yang berkebutuhan khusus. sehingga nantinya dinas harus menyiapkan belajar dari beberapa sekolah yang kemarin sudah ditunjuk, lalu kemudian dikumpulkan, lalu kemudian kurikulum yang ada dirancang untuk anak berkebutuhan khusus, " ujarnya.
Yang kedua, yang perlu diperhatikan adalah guru pendamping ABK. Karena belum semua guru punya pengalaman atau keahlian mengajar di kelas inklusi atau kelas berkebutuhan khusus.
"Maka bisa jadi nanti guru guru yang kemarin ada di sekolah inklusi itu nanti diminta untuk melatih kepada guru guru yang belum berpengalaman itu. Karena kemarin belum semua sekolah jadi inklusi. SMP hanya sekitar 25 sekian. SD baru 50 sekian," jelasnya.
BACA JUGA:Wadah Inklusifitas Jawa Timur, Sekolah Inklusif Aora Resmi Dibuka
Sehingga sekolah yang sudah pengalaman menjalankan pendidikan inklusi, maka gurunya bisa saja di mutasi untuk sekolah yang belum menjalankan pendidikan inklusi.
"Lalu guru yang sudah pengalaman mengajar di sekolah inklusi ini bisa menularkan pengalaman nya kepada guru yang lain. Atau guru guru sekolah yang akan ditetapkan sekolah inklusi maka mereka harus dilatih khusus, " katanya.
Selain guru pendamping, faktor lain yang harus dipersiapkan adalah sarana prasarana. "Karena sekolah yang ada ini kan dirancang tidak untuk anak inklusi, misalnya ada tangga, kemudian macam macam. Ini perlu disiapkan betul betul sehingga nanti mana sekolah yang kurang layak dari sisi saranya kemudian diperbaiki," jelasnya.
Kemudian Martadi menyarankan agar rencana dinas pendidikan ini harus disosialisasikan kepada orang tua dan bisa tersampaikan dan diterima dengan baik orang wali murid.
"Karena kadang kadang ada protes dari orang tua yang anaknya normal, ketika dimaksudkan ada anak inklusi. Lho anak saya kok dicampur dengan anak berkebutuhan khusus. Mereka (orang tua) protes. lah ini harus diedukasi orang tua dan dijelaskan dengan baik kebijakan ini agar mereka tidak salah paham. Justru kita bisa meyakinkan kalau anak anaknya bisa berinteraksi dengan anak inklusi, maka kepeduliannya nya empatinya akan semakin tumbuh, " ujarnya.
Apakah kemudian ini tidak mengancam SLB, Martadi menaggapinya, sebenarnya tidak perlu khawatir kalau kemudian sekolah SLB akan terkurangi karena jumlah SLB sangat terbatas kemudian ada tren anak anak yang berkebutuhan khsusu ini semakin tahun semakin bertambah. Justru keberadaan sekolah inklusi dan SLB itu sifatnya kolaboratif.
"Jadi bahkan kalau perlu guru SLB melatih guru guru sekolah leguler yang akan menerapkan sekolah inklusi. Jadi kolaborasi, dan ini bukan ancaman takut kehilangan siswa, saya pikir tidak, " pungkasnya. (alf)