Waktunya Lebih Banyak untuk Keluyuran
Anehnya, setelah menikah, Endang dan Hendra tidak segera mencari tempat tinggal. Hendra malah bergabung tinggal di kos-kosan Endang yang hanya satu kamar.
“Ternyata Hendra sangat kasar. Dia suka main tangan,” kata Win menirukan keluhan Endang.
Kebahagiaan yang diimpikan Endang setelah menikah jauh dari angan. Setelah tinggal bersama Hendra, justru kekerasan yang dia dapatkan. Toh demikian, Endang tidak pernah mengeluh.
Dina yang justru sakit hati. Seperti tidak terima sahabatnya diperlakukan semena-mena. Dia sering cekcok menghadapi Hendra. “Endang diperlakukan sangat kasar dan seenak udele Hendra,” kata Dina kepada Win saat kali pertama mendampingi temannya berkonsultasi dengan sang pengacara.
BACA JUGA:Hidup Bersama Lelaki Ganteng Misterius (3) Ternyata Hendra sudah tidak bekerja. Karyawan bagian purchasing itu dikeluarkan lantaran ketahuan menilap uang perusahaan. Dia di-PHK sebulan sebelum nikah.
Celakanya, fakta ini baru diketahui Endang setelah pernikahan. Ketika akhir bulan tiba dan Endang menagih uang belanja, Hendra berusaha menghindar. Bulan pertama berhasil. Tapi pada bulan berikutnya tidak bisa mengelak dan terpaksa Hendra mengakui keberadaannya sebagai penganggur. BACA JUGA:Hidup Bersama Lelaki Ganteng Misterius (2)
Tentu saja Endang shock. Walau begitu, dia tidak mampu memarahi Hendra. Ada rasa kasihan melihat wajah Hendra yang tampak innocent. Endang berusaha bersabar dan menerima kondisi ini sebagai cobaan.
Ternyata tidak hanya sebulan-dua bulan, masa menganggur Hendra berkelanjutan seperti tiada akhir. Endang selalu mendorong Hendra mencari pekerjaan baru, namun Hendra tampaknya kurang bersungguh-sungguh mencari kerja.
Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk cangkrukan dan keluyuran tanpa tujuan. Namun setiap ditanya, Hendra selalu menjawab sedang cari kerja. “Padahal tidak,” kata Dina membantu Endang bercerita kepada Win. BACA JUGA:Hidup Bersama Lelaki Ganteng Misterius (1)
“Hendra sering pulang dalam kondisi mabuk,” sela Endang.
“Dia sih tidak bisa keras kepada suami,” kata Dina sambil menuding Endang. Endang hanya mengangguk ketika Win bertanya betul atau tidak.
“Kasihan,” kata Endang.
Selama hidup dengan Hendra, Endang dinilai Dina seperti sapi perah yang hanya diambil susunya. Soal uang belanja, misal. Hendra tidak pernah memberi sekali pun, tapi justru selalu meminta.
Kecurigaan Dina bahwa Endang diguna-guna Hendra kembali muncul ketika suatu tengah malam melihat Hendra yang baru datang entah dari mana menaburkan sesuatu di depan rumah kos dan di depan kamar Endang. (jos, bersambung)