Yuli Setyo Budi, Surabaya Entah tahu atau tidak kalau uangnya dicuri, kedua orang tua Amanah tidak pernah mengeluh kehilangan. Fakta ini menjadikan Amanah ketagihan. Setiap butuh uang, dia selalu mengambil dari laci kasir toko yang memang tidak pernah dikunci. Hal itu terjadi berulang-ulang. Setelah hampir enam bulan, orang tuanya, terutama ayah, baru menyadari. Dia bertanya kepada Amanah yang memang masih tinggal serumah, apakah tahu uang yang disimpan bapak dan ibunya hilang? “Nggak tahu Pak,” jawab Amanah dengan gugup. Ketika menirukan kalimat itu di depan Memorandum, sisa-sia kegugupan tersebut masih melekat. Ayahnya terdiam. Amanah memandangi wajah lelaki paruh baya tersebut. Dia ingin memastikan ayahnya tak menaruh kecurigaan terhadapnya. Namun, Amanah tak bisa menyimpulkan kerut dahi sang ayah. Seminggu dua minggu, Amanah bisa menahan diri untuk tidak membuka laci kasir toko orang tua, seberat apa pun kebutuhan ekonomi mengimpit. Amanah lebih memilih menekan Yudi agar lebih ngoyo mencari duit. Amanah juga lebih merasa aman berutang ke toko pracangan milik tetangga. Namun setelah utang ke toko tetangga semakin menumpuk dan Yudi mengaku sudah notok berusaha Amanah mulai kehillangan akal sehatnya. Dia tidak lagi bisa berpikir jernih. Keinginan menjarah laci kasir toko orang tua tiba-tiba kembali muncul. Bedanya kini, Amanah harus jauh lebih waspada dalam beraksi. Jangan sampai tepergok, terutama oleh ayahnya. Bila itu terjadi, Amanah khawatir akan diusir dari rumah. Kehidupannya bakal lebih ruwet lagi. Aksi pun dijalankan. Dia menunggu ibunya istirahat siang dan ayahnya pergi ke masjid untuk salat Duhur berjemaah. Biasanya pada jam-jam menjelang dan bakda Duhur toko memang ditutup sementara. Tapi saat membuka laci, Amanah kecewa. Sangat kecewa. Kosong. Melompong. Tidak ada selembar atau sekeping uang pun di laci tersebut. Amanah kembali ke kamarnya dengan kecewa. Kegagalan tadi tidak menyurutkan semangat Amanah untuk mengulangi keesokan harinya. Tapi, Amanah harus kembali menelan kekecewaan. Tidak ada perubahan. Laci tetap kosong. Begitu pula keesokan harinya lagi. Laci tetap kosong melompong. “Pasti Ayah sudah memindahkan tempat penyimpanan uang,” pikir Amanah. Sampai hampir dua bulan, upaya Amanah untuk mencari tempat penyimpanan uang toko orang tua tidak membuahkan hasil. Pada suatu hari Amanah malah dikejutkan. Ketika membuka laci toko, dia menemukan sebuah amplop dengan tulisan di sisi luar: untuk Amanah. Bergegas dia membuka amplop itu. Terdapat berlembar-lembar uang pecahan Rp 100 ribu dan selembar sobekan kertas. Kertas sobekan itu berisi tulisan. Begini: Uang ini untuk membayar utangmu di beberapa tetangga. Jangan ulangi lagi mencuri. Jangan juga suka berutang. Sebenarnya kamu bukan lagi tanggung jawab Ayah. Anggap uang ini sebagai pemberian terakhir dari Ayah. Bayar utangmu dan pakai sisanya untuk beli motor. Suruh suamimu nyambi ojek. Cambuklah dia agar lebih giat bekerja. Diakui Amanah bahwa ayahnya tidak pernah marah. Setiap ganjalan di hatinya selalu dituliskan berupa surat. Hal itu dilakukan sang ayah sejak Amanah masih kecil. (bersambung)
Suruh Suami Cari Tambahan Rezeki dengan Narik Ojek
Kamis 31-01-2019,09:17 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :