Setiap Kamis dan Jumat Selalu Meninggalkan Rumah, ke Mana?
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Rumah Hayong di sudut kelurahan Kota Mojokerto sangat asri. Memorandum yang pura-pura tidak tahu alamat Hayong dan bertanya kepada warga, selalu mendapat tanggapan yang sama. “Oh, Hayong yang gini?” kata mereka sambil menempelkan telunjuk ke dahi dan menariknya menyilang.
“Tidak usah bertanya. Aku akan menceritakan semua,” kata Hayong. Linda duduk di samping dia. Anggun. Kecantikannya di masa-masa remaja masih tergores tegas di wajahnya.
Hayong mengaku sengaja memancing Memorandum datang ke rumahnya karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. “Aku sengaja macak gendeng di hadapan orang-orang tertentu,” kata Hayong memulai ceritanya.
Dengan macak gendeng, Hayong merasa mudah untuk menghindarkan diri dari dosa zaman milenial. Sebab, saat ini hampir semua pembicaraan, baik langsung maupun lewat telepon dan media sosial, selalu membawa dosa. Kalau tidak fitnah da ghibah.
“Karena itulah, setiap diajak bicara yang mengandung unsur fitnah atau ghibah, atau unsur negatif lain, aku menanggapinya secara nglantur. Biar aku dianggap gila nggakpapa asalkan selamat dunia-akhirat.”
Hayong hanya mau menanggapi orang-orang yang mengajaknya bicara yang baik-baik dan berguna. Tidak mengandung unsur fitnah. Tidak mengandung unsur ghibah. Tidak sia-sia dan ada manfaatnya. Yang lebih penting, bisa membawa ke surga. Kelak.
Menurut Hayong, pada akhir zaman ini fitnah-fitnah sistem Dajjal sudah masuk ke mana-mana. Sudah masuk ke rumah-rumah, bahkan kamar-kamar anak kecil. Sistem Dajjal itu merasuki saraf terdalam tubuh manusia melalui teknologi TV, HP, dan temuan-temuan teknologi lainnya.
“Orang sudah terbelenggu gaya hidup materialisme. Coba lihat, berapa orang yang paginya beriman, sorenya berubah kafir; sorenya beriman, paginya sudah kafir. Ini juga berlaku di kalangan ulama,” kata Hayong menasihati.
“Maaf, Yong. Tadi aku mendengar setiap Kamis dan Jumat kau selalu bertapa di gunung-gunung. Benarkah? Aku nggak percaya. Sebenarnya ke mana kamu?”
Hayong tertawa. Giginya yang miji timun berderet rapi tampak putih menghias wajahnya. “Kalau menurut kamu, ke mana aku?”
“Aku nggak mau menebak.”
“Inilah yang aku suka darimu. Jujur, apa adanya, dan polos,” kata Hayong, lalu mempersilakan Memorandum menyeruput kopi Dampit seduhan Linda.
Diakui Hayong setiap Kamis dan Jumat dia memang selalu tidak ada di rumah. Dia berkeliling mengecek jaringan bisnisnya yang tersebar hampir di seluruh kota-kota besar tanah air. Dia mengelola bisnis kuliner.
“Aku melihat perkembangan usaha-usahaku sambil bersilaturahmi dengan para karyawan yang sudah aku anggap sebagai keluarga.”
“Lalu soal kesaktian setelah menghirup udara ketika waktu berhenti mendadak yang pernah kau ceritakan dulu?” tanya Memorandum serius.
Kurang ajar. Hayong malah tertawa. “Mana ada waktu berhenti? Kalau sudah terjadi, itu artinya kiamat. Aku tadi hanya guyon. Maaf. Refreshing sejenak. Waktu itu aku merasa sudah menemukan jati diri dan pekerjaan. Aku kan pernah omong rezeki akan datang sendiri. Ya, memang. Setiap Kamis dan Jumat aku hanya ngecek-ngecek dan refreshing,” kata Hayong.
“Tentang tebakan-tebakanmu tadi?” desak Memorandum.
“Aku lihat di youtube dan melihat gesture orang-orang di sekeliling. Soal klenik-klenik tadi, lupakan. Hanya intermezo.”
“Soal jumlah duit?”
“Kebetulan saja benar. Sering salah kok.”
“Lho?” (habis)