Surabaya, Memorandum.co.id - Kisruhnya politik di tanah air dikarenakan tingkat kedewasaan elit politik rendah. Akibatnya, konflik mulai bergesar bukan karena antara elit dan rakyat. Tetapi konflik muncul antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.[penci_ads id="penci_ads_3"]
Penjelasan ini disampaikan Prof Irtanto Peneliti Balitbang Jatim dalam kuliah tamu dengan tema 'Dialog Terbuka Alumni dan Mahasiswa Fisip UWKS Dalam Menyongsong Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 di Jawa Timur, Selasa (17/12/2019).
"Sekarang konflik terjadi antar elit. Ini ada pergeseran," terang Irtanto.[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="baca juga" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="" displayby="tag" orderby="rand"]
Lanjut Irtanto, problem situasi politik jelas merugikan kepentingan rakyat. Karena transaksional di pilkada nanti masih saja terjadi. "Masyarakat tidak lagi melihat kualitas calon kepala daerah, tetapi transaksional masih dijalankan," kata dia.
Sementar itu, Agus Dono Wibawanto, mantan calon Walikota Malang menyampaikan, dirinya menjadi korban sistem pemilihan kepala daerah. Karena sistem politik masih memberikan kelonggaran terjadinya money politik. "Ini yang merusak kulitas demokratis," tandas Agus Dono.
Dirinya melihat memilih pemimpin tidak bisa dianggap remeh. Jangan sampai proses pemilihan kepala daerah dilakukan transaksioner. "Karena itu mempengaruhi nasib rakyat hingga 5 tahun kedepan," tandas politisi Partai Demokrat Jawa Timur.
Sementara itu, M Ikhsan Tualeka, CEO IndoEaste Network menyampaikan, sudah saatnya kekuatan jejaring sosial mampu mendorong rakyat untuk melakukan kontrak politik. "Sehingga rakyat benar - benar bisa merasakan perubahan kepemimpinan," tegas dia. (day/gus)