Jangan Kau Bunuh Anak yang Kau Lahirkan (2)

Selasa 06-09-2022,10:00 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Memorandum mencoba menyadarkan dengan memegang pundaknya. Perlahan kepala Jaka terdongak. Matanya merah. Penuh air mata. Tidak lama kemudian dia kembali menunduk dan meneruskan tangisnya. Tersedu-sedu. Majelis masih berlangsung saat Memorandum dan Jaka masuk ruang utama masjid. Ustaz Azis memberikan contoh kejadian-kejadian di masyarakat terkait tafsir ayat yang artinya: dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kata Ustaz Azis, ayat itu amat sesuai dengan fenomena dewasa ini. Betapa banyak pasangan suami-istri yang tega menggugurkan calon bayinya karena takut bakal tidak bisa memberikan kehidupan yang layak kepada si bayi. Banyak alasan yang dijadikan pembenaran bagi pelakunya. “Ayat ini bicara soal  saya, Pak Yuli,” bisik Jaka sambil menyenggol kaki Memorandum. Isaknya masih tersisa. “Sebentar lagi saya sudah pensiun. Aku takut. Ya Allah, maafkan aku ya Robb,” tutur Jaka. Tangannya mencengkeram betis Memorandum dan menyeretnya ke belakang. Kami pun mundur. “Maaf Pak Yuli, mengganggu kekhusyukan Penjenengan mendengarkan tausiyah,” imbuh Jaka setelah kami kembali menjauh dari forum. Jaka mengaku tidak lagi bisa fokus berada di dalam majelis taklim. Hatinya gelisah. “Maaf kalau saya melibatkan Pak Yuli masuk dalam kegelisahan saya,” tutur Jaka, yang kemudian mencurahkan beban di batin. Menurut Jaka, istrinya kebobolan. Hamil pada usia hampir setengah abad. Hal itu baru ketahuan sekitar dua-tiga bulan yang lalu, saat menstruasi sang istri berhenti. Titik (49, samaran), istri Jaka, pada mulanya mengira itu adalah tanda masuknya masa menopause. Sebab, hampir semua kerabat dan saudara perempuan dia kebanyakan masuk masa menopause pada usia kisaran 45-50 tahun. Suatu pagi tiba-tiba badan Titik meriang. Tubuhnya terasa ringan. Perutnya mual. “Kami segera ke dokter karena mengira dia masuk angin. Setelah diperiksa, dokter malah memberi kami ucapan selamat. Titik  hamil,” kata Jaka, yang mengaku kaget bukan alang kepalang. Bukannya bergembira, kabar itu justru menjadikan Jaka shock. Stres. Berbagai pikiran negatif berseliweran di benaknya. Pikirannya tegang. Segala sesuatu yang dipandangnya terasa salah. Gak tepak. Salah satunya, kekhawatiran tidak bisa menghidupi calon bayinya nanti dengan baik. Sebab, tak lama lagi dirinya bakal pensiun, padahal anaknya sudah banyak. Tiga. Perempuan semua. Mereka membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terutama biaya pendidikan. Pikiran ini wajar. Sebab, anak sulungnya masih duduk di bangku kelas tiga SMA, adiknya kelas satu SMA, dan si bungsu masih kelas dua SMP. “Padahal seperti Pak Yuli tahu, saya hanya karyawan swasta,” keluh Jaka yang bekerja sebagai staf di sebuah bank. “Saya ingin Titik menggugurkan kandungannya,” kata Jaka. (jos, bersambung)    

Tags :
Kategori :

Terkait