Ketika berusaha menghubungi Lili, Tejo kaget lantaran yang mengangkat ayah Lili. Lelaki sepuh itu hanya menyampaikan pesan dari anaknya: Lili tidak mau pulang sebelum Tejo menjalankan tuntutan agama. Sampai kapan pun. Masuk hari ke-10, Tejo akhirnya menyerah. Dia sowan ke mertuanya di bumi perjuangan waliullah Sunan Drajat. Tejo mengaku tidak tahan terlalu lama ditinggal sang istri. “Toh yang dia katakan benar,” tuturnya, “Memang, hidayah Allah itu bisa datang dari mana saja. Seperti aku ini, setelah bertahun-tahun meninggalkan ajaran agama, hidayah justru datang dari istri sendiri.” Raut muka Tejo sejenak tampak cerah. Namun, beberapa saat kemudian dia disadarkan kenyataan yang sedang dihadapi kini. Yaitu, perempuan yang sangat dia cintai itu telah meninggalkannya. Bukan untuk sejenak, tapi selama-lamanya; bukan sekadar ancaman, tapi menjadi pelajaran abadi bagi yang ditinggalkan! Tejo mengaku tidak mudah move on dari cintanya kepada Lili. Beberapa gadis cantik yang disodorkan keluarga dan kerabat tidak ada yang ujung panahnya mampu menembus jantung hati Tejo. Semua cantik-caktik. Semua masih perawan. Semua berpendidikan tinggi. Semua dari keluarga berada. Tapi, nyatanya tidak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya. Mereka lewat begitu saja tanpa ada yang meninggalkan kesan. Sampai suatu waktu, sekitar setahun pasca meninggalnya Lili, neneknya yang tinggal di Jombang mengenalkan seorang gadis jebolan pesantren di sana. “Dialah Nunung,” kata Tejo. Lelaki berambut tebal ini mengaku sebenarnya juga tidak tertarik kepada Nunung. Banyak alasan yang dia utarakan kepada keluarga. Pertama, hatinya sama sekali tidak bergetar saat kali pertama berjumpa. Kedua, dia melihat ada bias sorot mata yang bertolak belakang dengan sorot mata Lili. Ada tabir di sana. Ketiga, kata-kata Nunung menyiratkan ada sesuatu yang dia sembunyikan. “Itu memang sebatas perasaan. Makanya keluarga menyerang aku. Aku dikatakan tak bisa move on dari Lili, tidak bisa melupakan Lili, atau hatiku turut terkubur bersama jasad Lili. Intinya, mereka mengharapkan aku menerima Nunung sebagai pengganti Lili.” Alasan mereka menjodohkan keduanya sebenarnya juga banyak. Satu, wajah Lili dan Nunung sangat mirip. Ini, kata mereka, menunjukkan bahwa hati mereka juga demikian. Dua, Lili dan Nunung sama-sama jebolan pondok pesantren. Lili lulusan pondok di Ngawi, sedangkan Nunung lulusan pondok di Jombang. Tiga, keduanya sama-sama anak priyayi dan tokoh masyarakat. “Kami akhirnya benar-benar menikah. Tapi, jujur saja, aku hanya memberikan separuh hati. Biarlah separuhnya dibawa Lili di alam sana. Sebab, andai kami nanti dipertemukan kembali si surga, aku lebih memilih dengan Lili.” Kesetengah-setengahan hati Tejo diwijudkan dalam perilaku sehari-hari. Dia tidak banyak bicara. Dia hanya menanggapi apa yang disampaikan Nunung. Termasuk, janji untuk memberikan momongan yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng untuk Tejo. (jos, bersambung)
Istri Pembawa Bahagia dan Istri Pembawa Bencana (2)
Rabu 31-08-2022,10:00 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :