Bikin Nyesek, Ini Kisah Mbah Tini

Rabu 17-08-2022,11:22 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh Dr. Lia Istifhama, M.E.I., Aktivis Perempuan Sebut saja namanya Mbah Tini. Janda lanjut usia yang harus berjalan tertatih di tengah bungkuknya. Usia 77 tahun yang telah diinjaknya, tidak kian memperlihatkan matanya yang semakin sayu. Namun bukan berarti Mbah Tini kemudian sendu dan berpangku tangan atas apa saja yang dihadapinya. Melainkan, di usia senja tersebut, Mbah Tini harus merawat dua anaknya yang mengalami cacat permanen. Satunya adalah korban tabrak lari yang mengalami pembukaan kepala, dan satu lagi penderita multiple sclerosis. Tak pelak, janda yang tinggal di rumah warisan keluarga di tengah gang sempit dan jauh dari kesan mewah tersebut, setiap harinya harus telaten menyuapi hingga mengurusi segala kebutuhan hajat kedua anak yang usianya menginjak diatas 40 tahun tersebut. Perjuangan selama hampir 5 tahun untuk merawat kedua anaknya, ternyata masih harus berlanjut pada perjuangan lainnya. Dalam hal ini, perjuangan menyelamatkan tempat tinggal warisan keluarga yang ditinggalinya bersama anak-anaknya. Mbah Tini, perempuan tua yang saat itu datang bersama salah satu anaknya yang lain, yaitu sebut saja Bu Asih, berjalan tertatih dengan baju dan kerudung yang lusuh dan sandal jepit yang semakin melengkapi lusuhnya penampilannya, di salah satu Pengadilan Negeri pada akhir Juli lalu. Bu Asih yang berjalan dengan membopong lengan Mbah Tini yang tidak kuat berjalan sendiri, juga tak kalah memprihatinkan. Usianya memang masih 40an, tapi postur tubuhnya jauh dari kata sehat. Badannya yang besar dan kakinya yang berjalan terseret, praktis membuat keduanya seharusnya menarik simpati orang lain. Terlebih, Bu Asih pun seorang janda yang hidupnya yang menjadi tulang punggung keluarga melalui profesinya sebagai penjual makanan. Setelah keluar dari ruang sidang, keduanya kemudian duduk sejenak di depan ruang sidang. Terlihat keduanya membawa beberapa kertas yang terlihat telah berlipat-lipat, lusuh dan tidak rapi. Terlihat jelas sebuah logo sebuah wadah pinjam meminjam. "Ibu datang sebagai tergugat, nggih? Digugat karena utang piutang, Bu?", tanyaku yang kemudian terkuaklah kisah pahitnya. Wanita yang seharusnya banyak dirumah untuk menikmati usia tua dengan cucu-cucunya tersebut, ternyata terbebani utang dari almarhum anaknya. Anaknya tersebut, sebut saja Tikno, telah meninggal dan istrinya pun harus berjuang merawat dua anak yatim. Kini, lembaga yang meminjamkan uang tersebut, menggugat Mbah Tini untuk membayar uang senilai 100 jutaan dan sekaligus aset rumahnya. Jika tidak membayar sesuai gugatan, maka akan dibebankan denda harian hingga 345 ribu rupiah. Jumlah yang tidak sedikit, terlebih untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Apalagi, pinjaman pak Tikno hanyalah 49 juta rupiah dan telah diangsur sekitar 10 juta rupiah. Sebuah kondisi yang sangat memprihatikan, bukan? Dan kini, sang nenek tersebut tengah menanti putusan hakim. Dan tentu, kita berharap adanya putusan seadil-adilnya dan mengedepankan sisi kemanusiaan.

Tags :
Kategori :

Terkait