Oleh: Ainur Rohim (Ketua PWI Provinsi Jatim)
Era media sosial (medsos) disebut-sebut menjadi tamparan keras kepada media pers (media mainstream). Pandangan itu tak sepenuhnya salah atau benar. Media pers tetap eksis dan terus akan survive, sekalipun pengelola media pers harus bekerja lebih keras lagi. Memorandum yang di November 2019 ini memasuki usia 50 tahun adalah contoh objektif media pers yang terus hidup dan berkembang di tengah era medsos.
Iklim dan lingkungan sosial politik media pers di Indonesia mengalami perubahan drastis. Di era rezim Orde Baru (Orba) Soeharto, yang ditandai dengan state regulation yang rigid dengan pengawasan sangat ketat oleh negara. Kini di era reformasi pers nasional memasuki zaman market regulation. Yang mana pasar sangat menentukan hidup matinya media massa. State regulation menempatkan negara sebagai penentu kebenaran opini publik, melakukan hegemoni kebenaran, mengatur kehidupan pers nasional baik di ranah redaksional maupun bisnis. Rezim politik yang berkuasa menempatkan pers layaknya corong opini publik kekuasaan politik dan ekonomi. Sehingga berita dan informasi yang benar dan layak dikonsumsi publik ketika berita tersebut telah lolos dari saringan ketat kekuasaan.
Hal sebaliknya terjadi sekarang, di mana market (pasar) adalah penentu segalanya. Pasar yang bisa membuat media pers tertentu bisa hidup, sekarat dan bahkan menghadapi kematian. Sudah tak terhitung jumlahnya jumlah media pers yang mati dan tinggal nama di era reformasi ini. Media pers yang bersifat partisan, didanai, dikelola, diterbitkan, dan diabdikan untuk kepentingan partai politik tertentu yang banyak muncul pascareformasi, kini tinggal nama. Era market regulation sekali lagi menegaskan dalil lama tentang pers: Bahwa basis pers itu masyarakat. Bukan partai politik. Dan juga bulan pula rezim politik tertentu.[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="baca juga" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="right" withids="" displayby="tag" orderby="rand"]
Kita tentu semua ingat di era rezim Orde Baru ada media massa yang dimiliki partai tertentu dan mengabdi kepada rezim politik yang menyokongnya. Ketika rezim politik itu runtuh, media massa tersebut ikut rontok. Contoh paling ekstrim adalah Harian Pravda di era Uni Sovyet yang oplahnya jutaan eksemplar setiap hari, setelah Sovyet runtuh, Harian Pravda tinggal nama.
Memorandum yang di usianya mencapai 50 tahun di November 2019 ini adalah media massa yang berusia cukup tua. Memorandum merasakan bagaimana pengap dan sempitnya kemerdekaan pers di era rezim Orde Baru Soeharto. Koran ini sekaligus hidup dan merasakan ruang kemerdekaan pers sangat luas di era reformasi. Plus minus di kedua era dan lingkungan politik tersebut memberikan banyak hikmah dan pengalaman kepada pengelola koran ini. Sejak zaman Orde Baru Soeharto, Memorandum di bawah pemimpin redaksi H Agil H Ali, dikenal sebagai koran berani dan tak jarang konten pemberitaannya melawan arus besar policy kekuasaan politik. Misalnya, di pertengahan tahun 1990-an, Memorandum menjadi jembatan pertemuan antara Ir Sutjipto dengan Latif Pudjosakti terkait dualisme kepemimpinan DPD PDI Jatim pascakonferda Batu, yang berujung deadlock. Itu salah satu langkah sejarah politik Memorandum dan menjadi legacy bagi koran di masa kini dan masa depan. Realitas itu terjadi, karena kepercayaan kepada koran ini sekaligus kredibilitas dan integritas pemimpinnya.
Saya berpandangan kenapa koran ini tetap eksis di era distruption dengan serangan medsos yang sangat kencang seperti sekarang? Satu di antaranya, karena konsistensi. Manajemen koran Memorandum tetap istiqomah pada konsep bahwa khittah koran ini adalah media massa hukum dan kriminal. Jati diri ini yang terus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya dari tahun ke tahun. Manajemen koran Memorandum tak mengambil policy redaksional bersifat zigzag dalam hubungannya dengan konten pemberitaan yang menjadi skala prioritasnya. Sekalipun konten hukum dan kriminal tak sampai 50 persen dari isi koran Memorandum secara keseluruhan, tapi headline dan laporan utama lain tetap menyuguhkan konten hukum dan kriminal sebagai menu utamanya. Sehingga brand dan akseptabilitas Memorandum di mata publik tetap kuat dan mantap hingga sekarang. Dari perspektif isi, tata bahasa, pemilihan judul, dan materi pemberitaan, secara objektif dan faktual, Memorandum mengalami banyak perkembangan positif dan kemajuan. Nilai akurasi, keberimbangan, cover both side, ketaatan kepada Kode Etik Jurnalistik, dan regulasi lain tentang pers adalah hal-hal prinsip yang mesti dijalankan dan dipegang teguh pengelola dan awak media massa.
[penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="baca juga" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="" displayby="cat" orderby="rand"]Secara pribadi, saya pernah bekerja sebagai wartawan Memorandum pada 1994-1999. Ketika itu, Memorandum di bawah kepemimpinan H Agil H Ali. Sebagai mantan aktivis pers kampus yang populer dan kritis, Agil mengajarkan kepada semua wartawannya, terutama wartawan muda dan baru, untuk terus belajar dan belajar. Yang saya ingat pesan penting yang disampaikan H Agil H Ali sampai sekarang adalah pribadi wartawan merupakan kombinasi seorang intelijen dan diplomat. Dalam konteks mencari, mengumpulkan, menganalisis, dan mengkomparasi informasi, wartawan harus bekerja seperti intelijen. Bekerja dalam senyap, tanpa apresiasi dan panggung. Namun demikian, substansi informasi yang diraih dan dilaporkan seorang intelijen kepada atasannya sangat menentukan berhasil atau gagalnya pekerjaan bagian atau kesatuan lainnya. Seorang intelijen bekerja dalam sunyi tanpa seorang pun tahun kecuali dirinya sendiri.
Dalam konteks melobi dan mempersuasi narasumber, wartawan selayaknya mampu memerankan dirinya sebagaimana layaknya seorang diplomat. Karena itu, seorang wartawan dituntut smart dan cerdik. Instrumen riil untuk mewujudkan itu mengharuskan wartawan harus terus belajar, belajar, dan belajar. Habit membaca adalah kunci lain yang harus dimiliki seorang wartawan dalam mendukung keberhasilan dan efektifitas kinerjanya. Apalagi di era kekinian, di masa kanal pengetahuan bersifat global sangat mudah diakses melalui google dan kanal medsos lainnya. Walau demikian, yang dibutuhkan wartawan tetap ilmu pengetahuan dan wawasan baru yang bersumber dari buku, baik buku referensi, buku populer, dan jurnal ilmiah. Pengetahuan dari buku dan jurnal ilmiah tersebut akan menambah pengetahuan, mempertajam daya analisis, dan menghantarkan wartawan memiliki kemampuan berpikir komparatif atas berbagai fenomena faktual yang ditemui di lapangan.
Di usianya yang menginjak 50 tahun, saya selaku pribadi, alumni Memorandum, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, dan masyarakat pers Jatim mengucapkan selamat ulang tahun (HUT) ke-50 kepada koran Memorandum. Tetaplah berpegang teguh dengan tagline: Bekerja dan Membela Tanah Air. Koran ini telah melahirkan banyak wartawan handal di Jatim dan Indonesia. Memorandum bukan sekadar lembaga bisnis pers. Memorandum telah menjalankan peran strategis bagi pendidikan wartawan. Memorandum harus tetap konsisten dengan visi dan misinya sebagai harian umum, dengan berita-berita hukum dan kriminal sebagai menu utamanya. Saya yakin dan percaya bahwa yang konsisten itu yang eksis dan survive. Terima kasih. (***)