Surabaya, memorandum.co.id - Ada adagium yang memgatakan, Lebih baik melepaskan 1.000 orang bersalah daripada menahan atau memenjarakan satu orang tidak bersalah masih saja terjadi di dunia peradilan di tanah air. Berbagai kasus salah tangkap hingga salah vonis masih terus terjadi.
Kasus kopi sianida dengan “tersangka” Jessica Wongso pada tahun 2016 silam masih terus meninggalkan tanda tanya. Jessica hingga kini terus menunggu datangnya keadilan mengingat kejelasan perkara ini masih “abu-abu”.
Menyikapi fenomena tersebut, Nusakom Pratama Institue bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Timur menggelar diskusi terbatas dengan tema Peninjauan Kembali (PK), Mengapa Dibatasi?
Dalam acara yang digelar di Aula PWI Provinsi Jawa Timur, Sabtu (11/6), dua narasumber yang dihadirkan, masing-masing Dr. Siti Marwiyah, S.H., M.H (pakar hukum sekaligus Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya) dan Amira Paripurna, S.H, LL.M., Ph.D (pakar hukum Universitas Airlangga Surabaya), memiliki pandangan terhadap pembatasan upaya hukum PK tersebut.
Menanggapi paparan dan narasi yang disampaikan oleh moderator Dr. Ari Junaedi, S.H., M.Si, Siti Marwiyah menilai keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai lembaga yang memberikan perlindungan dan keadilan hukum.
Menurutnya, masyarakat bisa memanfaatkan PK untuk mendapat keadilan hukum akibat kesalahan putusan di Mahkamah Agung (MA). MK sebagai lembaga negara baru produk reformasi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan perbaikan dalam penegakan hukum.
Siti menambahkan, unsur politik juga memengaruhi sistem peradilan di Indonesia sehingga beberapa putusan menjadi tidak adil sehingga diperlukan upaya hukum yang memenuhi unsur keadilan.
Sementara Amira Paripurna menyebut bahwa PK seharusnya tidak perlu dibatasi karena dalam beberapa kasus hukum pidana yang terjadi di seluruh dunia, sering terjadi kesalahan atau error dalam sistem peradilan hukum di seluruh dunia.
Alumnus University of Washington School of Law Amerika Serikat ini menambahkan, di Belanda yang menjadi 'kiblat' hukum Indonesia, proses PK tidak dibatasi dengan catatan ditemukan novum atau bukti baru yang bisa diajukan dalam persidangan.
Dalam Komite Pembaharuan KUHP memandang pengajuan PK lebih dari satu kali merupakan langkah tepat karena sejalan dengan alasan keadilan dan perlindungan HAM.
"Menurut saya sebaiknya PK ini memang tidak perlu dibatasi dengan alasan setiap tersangka perlu mendapat keadilan seadil-adilnya. Catatannya adalah dibuat kriteria novum dalam perkara tersebut," papar Amira Paripurna.
Moderator diskusi yang juga menjabat sebagai Direktur Nusakom Pratama Institute Ari Junaedi sempat menyinggung banyaknya pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki meski memiliki fakta baru (novum) lantaran harus kandas dengan aturan yang membelenggu. Termasuk di dalamnya ada unsur kepentingan politik dalam pembatasan upaya PK.
PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada esensinya, PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana.
Mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.
Melalui putusan ini, MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Kasus-kasus yang menyita perhatian publik karena kontroversi pembatasan PK diantaranya kasus kopi sianida Jessica, kasus pengambilalihan lahan penduduk oleh perusahaan di Surabaya serta rekayasa kasus yang menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.(iku)