Yuli Setyo Budi, Surabaya Mereka berasal dari Ponorogo. Ayahnya tinggi-besar seperti warok. Ibunya lencir kuning khas perempuan desa. Ada dua orang lagi, saudara Nining. Yang satu anggota TNI AU yang berdinas di Tanjung Perak, yang satu lagi mahasiswa Unair jurusan hukum. Setelah berbasa-basi ke sana-kemari, ayah Titin membuka dialog. “Mohon maaf, kami kemari sebenarnya mempunyai maksud tertentu,” katanya tegas, mantab, sambil memandang tajam mata ayah dan ibu Ulum. “Tapi maaf, kami berharap Nak Ulum dihadirkan ke sini dulu,” imbuh ayah Titin. Deg! Ayah dan ibu Ulum bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa Ulum harus hadir pada pertemuan? Apakah mereka juga bermaksud melamar Ulum seperti tetangga-tetangga kiri-nanan?” Baudi bahkan berpikir lebih jauh, “Oalah… wolak-walike zaman. Dulu wanita yang dilamar, kini malah wong lanang sing dadi rebutan,” Berpikir begitu, mata Baudi sambil melirik Titin yang duduk tepat di depannya, “Pancen ayu, gak koyok biasae.” Ibu Ulum lantas berdiri dan berjalan ke arah belakang. Menjemput Ulum yang kamarnya memang berada di ujung belakang, berhadapan dengan kamar Titin. Lima menit kemudian Ulum dan ibunya sudah bergabung di ruang tamu. Ulum menunduk hormat kepada keluarga Titin. Perbincangan dilanjutkan. “Begini Pak, Buk, dan Nak Ulum. Kami jauh-jauh kemari sebenarnya untuk meminta tanggung jawab Nak Ulum,” kata Pak Warok, nama samaran ayah Titin. “Tanggung jawab?” Begitu yang kalimat yang cepat melintas di benak Baudi dan istri. Mereka menampakkan wajah bingung. Tidak mengerti ke mana arah tujuan pembicaraan Pak Warok. Tidak demikian dengan Ulum. Pemuda tersebut spontan menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Anak kami ini, Titin, sudah dua bulan ini tidak disambangi tamu bulanannya,” kata Pak Warok. “Saat kami desak dengan siapa dia berbuat, Titin mengaku itu hasil perbuatannya dengan Nak Ulum.” Sambil berkata begitu Pak Warok mengelus-elus pundak Titin dan memandang Ulum. Namun, yang dipadang masih menyimpan wajahnya di balik tekukan leher. Ulum belum berani mengangkat wajah. “Bukan begitu Nak Ulum?” tanya Pak Warok. Ulum mengangguk pelan. Pelan sekali sampai tak tampak sebagai gerakan angguk, tapi lebih mirip ujung tanaman padi tertiup angin pagi. Di samping Ulum, ayah dan ibunya saling memegang tangan. “Anakku kumat,” begitu pikir mereka. Dan, kali ini bahkan lebih parah, sampai menghamili anak orang. Walau begitu, mereka sempat bernapas lega karena gadis yang dinodai Ulum dan minta pertanggungjawaban anaknya tersebut berasal dari keluarga berpendidikan. Mereka minta tanggung jawab Ulum dengan sopan. Dialog pada malam hari itu, walau ada ketegangan, berlangsung dengan baik dan lancar. Tuntutan keuarga Titin dipenuhi dengan baik, sementara keluarga Ulum bisa menerima kenyataan tersebut dengan lapang. Lha bagaiman nggak lapang, wong memang Ulum yang sejatinya bersalah. “Kami kira cukup dulu karena sudah ada titik temu di antara kita. Secepatnya keluarga Pak Baudi kami tunggu di Ponorogo untuk membicarakan kelanjutan acara anak-anak kita,” kata Pak Warok sambil mengulurkan tangan untuk berpamitan. Rombongan tamu dari Ponorogo segera berbalik menuju mobil, lantas hilang ditelan tikungan depan rumah. Ulum langsung bersujud di kaki ayah dan ibunya, “Maafkan aku,” katanya lirih. (bersambung)
Tak Disangka, Sukses Menjadikan Gadis Ponorogo Berbiak
Kamis 03-01-2019,11:32 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :