Oleh : Dr. Lia Istifhama, Wakil Sekretaris MUI Jatim
Islam Rahmatan lil ‘Alamin.
Seperti diketahui, Rahmatan lil 'Alamin adalah istilah Qur'ani, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Anbiya' ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin)”.
Memahami Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, dapat dipahami dalam berbagai aspek, diantaranya yaitu hadirnya Islam sebagai penguat sisi humanisme. Salah satu perwujudannya adalah bahwa Islam sangat menghargai toleransi beragama.
Dikisahkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al- Ghazali, tentang kisah Nabi Ibrahim AS yang memiliki gelar al Khalil atau Khalilullah, yaitu kekasih Allah SWT.
Satu ketika, Nabi Ibrahim AS bertemu seorang majusi yang memintanya untuk dipertemukan dengan Nabi Ibrahim, sedangkan orang majusi tersebut, tidak mengetahui bahwa saat itu ia telah bertemuu Nabi Ibrahim. Mendengar pinta orang majusi tersebut, Nabi Ibrahim AS menjawab: “Kalau kamu masuk Islam, niscaya aku pertemukan engkau”. Mendapatkan jawaban seperti itu, orang majusi tersebut lalu pergi.
Dari peristiwa itu, maka Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim: “Hai Ibrahim! Engkau tidak memberi makan kepadanya, selain dengan (meminta) mengubah agamanya. Dan Kami tujuh puluh tahun yang lalu, memberi makan kepadanya (sekalipun) di atas kekafirannya. Maka jikalau engkau pertemukan (dirimu dengan dirinya) semalam, niscaya apa yang ada (kebaikan yang kau dapatkan) atas engkau?”
Mendapatkan wahyu tersebut, maka pergilah Nabi Ibrahim AS berusaha mencari orang majusi itu dan dimintanya kembali agar orang majusi tersebut berkeinginan dipertemukan dengan Nabi Ibrahim.
Lalu orang majusi itu bertanya kepada Nabi Ibrahim a.s: “Apa sebab dan apa yang nampak bagi engkau itu (sehingga mempertemukan dengan Ibrahim)?”.
Nabi Ibrahim AS lalu menerangkan kepada orang majusi tadi tentang wahyu Allah SWT.
Maka orang majusi tersebut bertanya kepada Nabi Ibrahim: “Adakah yang begini (atas perintah Allah SWT), engkau mengadakan hubungan dengan aku?”. Dan orang majusi itu langsung menyambung perkataan: “Kemukakan kepadaku Agama Islam”. Tak lama kemudian. ia pun masuk Agama Islam.
Kisah tersebut menjadi salah satu potret bahwa Islam sangat menghargai perbedaan agama. Begitupun yang dikisahkan dari buku ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad’ Karya H. Munawar Chalil (1960) tentang sejarah permulaan adzan dan qamat. Bahwa seruan shalat dengan adzan adalah disebabkan umat Islam tidak diperkenankan mencampur adukkan dengan peribadatan agama lain. Sebagai contoh, ketika menyerukan shalat, jangan dengan cara menyalakan api karena itu identitas kaum Majusi, jangan meniupkan terompet yang merupakan symbol Yahudi, ataupun memukul lonceng yang merupakan identitas Nasrani. Hal ini tak lain bahwa setiap agama memiliki identitas dan harus saling dihormati.
Spirit toleransi secara tegas juga diterangkan dalam Al-Qur’an, yaitu Surat Al Kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku".
Dan dalam sebuah hadis, juga diterangkan keutamaan menjaga toleransi :
رَأْسُ الْعَقْلِ الْمُدَارَةُ وَأَهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الدُنْيَا أَهْلُ الْمَعْرُوْفِ الْأَخِرَةِ (رواه البيهقي عن ابي هريرة)
“Pokok akal adalah toleransi, dan ahli kebaikan di dunia adalah ahli kebaikan di akhirat.” (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 4368).
Subhanallah, dari penggalan ayat suci, hadis, serta kisah di atas, maka tak dapat dibantahkan lagi bahwa Islam sangat mengutamakan toleransi. Direlevansikan dengan realita saat ini, maka Islam-lah yang sejak dahulu kala menganjurkan kepada kaum mukmin untuk selalu menghormati umat agama lain. Dengan begitu, Islam secara sejati telah menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan Islam-lah yang mengedepankan toleransi antar umat beragama agar perdamaian umat manusia selalu terjaga.