Oleh: Dahlan Iskan
Ini berita duka untuk mobil listrik: Dyson tiba-tiba membatalkan proyeknya. Yang di Singapura itu.
Padahal James Dyson sudah menyiapkan dana Rp 50 triliun. Sudah membeli lokasi di daerah Jurong. Sudah merekrut tenaga ahli sebanyak 600 orang.
Sejak tahun lalu.
Langkahnya sudah agak jauh.
Keputusan itu datang minggu lalu. Tanpa alasan yang rinci. Kecuali satu kalimat ini: tidak akan bisa mencapai nilai komersial.
James Dyson adalah orang terkaya di Inggris. Salah satunya. Umurnya sudah 72 tahun. Salah satu sponsor Brexit. Di awal-awalnya.
Dunia tahu siapa ia.
Terutama para wanita.
Dyson-lah yang mencipta teknologi baru pengering rambut. Hair dryer. Menggunakan namanya sebagai merk: Dyson. Itulah dryer yang paling sedikit blade di dalamnya.
Itulah juga dryer yang paling mahal harganya.
Made in England. Pabriknya di Malaysia.
Sebelum itu Dyson juga mencipta teknologi baru vacuum cleaner. Dengan menggunakan sistem cyclone. Itulah vacuum cleaner yang paling mahal saat ini.
Pun sebelum itu. Dyson menciptakan sesuatu yang sangat sederhana --tapi manfaatnya dirasakan seluruh kuli bangunan: gerobak satu roda. Yang rodanya di depan. Untuk angkut semen, bata, dan kadang angkut istri mereka.
Perusahaan Dyson pun terus bikin prestasi. Tahun lalu labanya mencapai rekor: Rp 15 triliun.
Dyson dikenal bukan hanya sebagai pebisnis. Tapi lebih sebagai ‘penemu teknologi’.
Sampai tua pun otaknya terus gatal. Terus mencari sesuatu. Dan terus menemukannya. Termasuk menemukan teknologi motor. Yang lebih efisien.
Prinsip temuannya itu sudah dipakai untuk menggerakkan alat di dalam vacuum cleaner. Dan di dalam hair dryer.
Dyson terus memikirkan: alangkah efisiennya kalau ide motornya itu diterapkan untuk mobil listrik.
Terasa sekali Dyson tidak terlalu memikirkan bisnisnya. Ia lebih ingin mewujudkan ambisinya sebagai penemu teknologi.
Ia tahu: sudah keduluan Tesla. Atau Toyota. Atau mobil-mobil dari Tiongkok. Justru ia ingin mengalahkan semua itu. Lewat keunggulan mobil listrik Dyson ciptaannya.
Semula saya pun menganggap Dyson sebagai calon ‘membunuh’ janin mobil listrik Indonesia. Janin yang masih berbentuk sperma. Sperma yang masih berupa nafsu.
Saya pikir Dyson tahu bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Yang bisa diincar dari Singapura. Lewat perdagangan bebas Asia Tenggara.
Dengan memilih Singapura, Dyson seperti memproduksi di depan mata.
Tidak saya sangka tiba-tiba Dyson mengirim berita duka.
Ternyata Dyson tetap seorang pebisnis sejati. Yang hitungan untung-ruginya tetap nomor satu.
Jarang penemu yang tidak emosional seperti Dyson. Yang tetap mempertanyakan: berapa besar laba yang didapat dari investasi Rp 50 triliun itu.
Tapi mengapa baru sekarang akal sehat bisnisnya itu muncul? Mengapa tidak sejak awal? Sebelum membeli lahan di Singapura? Dan sebelum punya 600 tenaga ahli?
Di sinilah alasan ‘tidak menguntungkan’ tadi harus dipertanyakan.
Saya lebih melihat pada kerumitan teknis. Atau birokrasi.
Industri mobil memerlukan supply chain yang panjang.
Membuat mobil memerlukan sekitar 20.000 onderdil.
Beda dengan membuat vacuum cleaner. Atau hair dryer. Yang hanya perlu 2.000 onderdil.
Singapura sangat miskin supply chain. Beda dengan Indonesia. Apalagi Tiongkok.
Mestinya Dyson mendirikan pabrik mobil listriknya di Indonesia.
Dyson sudah terlalu tua untuk berani mengambil resiko besar. Mula-mula seperti berani. Tapi ternyata sudah tua juga.
Dari segi bisnis putusan Dyson itu sangat benar. Di usianya itu. Memulai bisnis di bidang yang baru perlu waktu yang panjang. Juga perkelahian yang melelahkan.
Tapi saya tidak tahu persis alasan yang sebenarnya. Hanya saja saya ingat ini: Elon Musk pernah bicara blak-blakan tentang Singapura. Tahun lalu.
Penggagas Tesla itu mengatakan “Singapura tidak welcome pada mobil listrik”.(*)