Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
“Mbak Yuli, ya?” Sebelum Memorandum sempat menjawab, suara di seberang sudah menyambung, “Aku kecewa, Mbak. Aku dikecewakan sahabat. Padahal, dia sahabat terbaikku. Sudah kayak saudara. Ini gimana, Mbak?”
“Maaf, ini siapa?” tanya Memorandum.
“Lho, bukan Mbak Yuli ya?” suara tadi kembali bertanya. Sedikit kaget mendengar suara lelaki.
“Maaf, Mbak ini siapa? Aku memang Yuli. Yuli Setyo Budi. Bukan Mbak Yuli, tapi Mas Yuli. Tepatnya Pak Yuli, karena usiaku lebih dari separuh abad. Lima-lima.”
“Aduh… maaf lho Pak. Saya kira njenengan perempuan. Dan masih muda. Pakai nama Yuli sih. Kenalkan nama saya (sebut saja, red) Yeti. Yeti Idamaningati. Boleh saya curhat kan Om? Tak panggil Om saja. Di koran kan ada pengumuman pembaca boleh curhat!? Iya?”
“Tapi kisahnya dimuat di koran lho.”
“Memang itu yang saya mau. Biar banyak orang yang tahu kisahku, termasuk dia.”
“Dia siapa?”
“Ya sahabat yang sudah saya anggap saudara itu. Tapi ternyata pengkhianat itu. Penipu. Huh, sebel.”
“Sabar, Mbak Yeti. Mbak Yeti usianya berapa?”
“Dua enam. Sama dengan dia. Dua enam.”
“Namanya?”
“Sebenarnya males sih sebut namanya. Tapi gimana lagi. (Sebut saja, red) Farida. Panggilannya Aik.”
Telepon sekitar enam bulan lalu itu akhirnya bersambung. Tidak hanya sekali-dua kali, tapi acap kali. Isinya menceritakan persahabatan Yeti vs Aik yang terjalin sejak kecil. Sejak mereka duduk di bangku taman kanak-kanak (TK) di Mojokerto.
Kalau mendengar ceritanya yang hanya sepihak dari Yeti, terkesan persahabatan mereka dikendalikan oleh Yeti. Apa-apa yang diinginkan Yeti harus selalu diikuti Aik. Tidak boleh tidak.
Semisal Aik tak sejalan dengan pikiran Yeti, maka pemilik gigi bak biji mentimun itu (tampak dari foto yang dia kirimkan via WA) ngambek tanpa batas waktu sampai Aik datang dan minta maaf. Padahal, Aik belum tentu bersalah. Orang tua masing-masing memahami itu.
Penyelarasan kehendak demikian tak menghadapi kendala hingga mereka duduk di bangku SMP. Waktu SD, misal, Yeti yang hobi main gobaksodor dengan mudah memalingkan Aik yang sebenarnya suka permainan petak umpet. Juga, kala Yeti mendesak Aik menuruti kemauannya ikut latihan renang, padahal dia sebenarnya lebih suka ikut latihan ekstrakurikuler seni tari.
Banyak pemaksaan kehendak yang akhirnya menjadi kebiasaan bahwa Aik harus tunduk kepada Yeti. Kejadia lucu pernah terjadi ketika mereka duduk di bangku kelas tiga SMP.
Waktu itu Aik naksir cowok kelas satu SMA, yang sekolahnya sekompleks dengan mereka. Ternyata Yeti juga menaruh hati kepada cowok yang sama. Setelah terjadi perebutan adu mulut, mereka sepakat sut untuk menentukan siapa yang berhak atas jagoan basket tadi.
Saat sut, ternyata Yeti yang menjadi pemenang. Maka, dengan percaya diri Yeti mengirimkan surat cinta kepada cowok yang diperebutkan tadi. Celakanya, tidak ada tanggapan ositif dari cowok tersebut. Doi bahkan cenderung menghindari Yeti.
Yeti dianggap gagal. Aik giliran mencoba. Apa hasilnya? (bersambung)