Oleh: Dahlan Iskan
Ini bukan hoaks. Tanaman hutan Kalimantan ini jadi berita dunia: khasiatnya 10 kali lipat dari mariyuana.
Di Amerika nama tanaman itu: Kratom.
Di pedalaman Kaltim disebut Kandema.
Saya segera mengontak wartawan DI's Way Kaltim di Kutai Kartanegara. Namanya Bayu Surya Gandamana. Ibu suku Banjar, ayah suku Gandamana --ups Ponorogo.
Ia pernah ke Kenohan. Sebuah kecamatan di pedalaman Kutai Kartanegara.
Saya juga pernah ke sana. Zaman muda dulu.
Belum ada jalan waktu itu. Masih harus naik perahu. Menyusuri sungai Mahakam yang meliuk-liuk. Dari Samarinda ke arah hulu. Perlu waktu 3 hari tiga malam.
Tidak menyangka Desa Tuana Tuha, di Kecamatan Kenohan itu kelak bakal mendunia. Di tahun 2019.
Pohon Kandema itulah yang membawa Kaltim terkenal hari-hari ini. Juga yang membuat ratusan penduduknya hidup kian sejahtera.
Daun tanaman itu laku sampai ke Amerika. Dijual sebagai obat. Bisa membuat otak yang lemah merespons lebih baik. Juga mengurangi rasa sakit.
Tapi juga ada yang menyalahgunakannya. Memakannya melebihi batas. Sebagai obat penggembira. Juga pelupa derita.
Bahkan bisa lupa untuk selama-lamanya --130 orang Amerika mati tiap hari karena kelebihan dosis itu.
Asosiasi Kratom Amerika terus berjuang. Agar tanaman mariyuana dilegalkan. Ada 20 juta orang Amerika menjadi konsumen Kratom. Ini bisnis puluhan triliun setahun.
Kanada, Jerman, Perancis, Spanyol dan beberapa negara lagi sudah menghalalkannya.
Di Amerika tinggal enam negara bagian yang masih melarang tanaman mariyuana. Sudah jauh lebih banyak yang melegalkannya.
Saya ingat tiga bulan lalu. Waktu saya ke Amerika. Saya diajak mampir ke negara bagian Oregon. Yang sudah mengizinkan mariyuana.
Saya diajak teman melihat orang menanam hemp. Bentuk tanamannya sangat mirip mariyuana.
Bedanya: level kandungan mariyuananya lebih rendah. Di batas yang diperbolehkan.
Di Kaltim, tanaman Kandema itu hidup sendiri. Di pinggir-pinggir sungai. Di tepi rawa-rawa. Tidak ada yang memperhatikannya.
Memang, penduduk Kenohan tahu: pohon itu ada khasiat obatnya. Tapi bukan di daun. Melainkan di kulit kayunya.
Kulit itu dikelupas. Lalu direbus. Wanita yang baru melahirkan diminumi air rebusan itu.
Begitulah turun-temurun. Agar si ibu lekas pulih --dan bisa lekas melayani suaminya lagi. Juga bisa mengurangi derita melahirkan.
Bahwa daunnya bisa jadi uang, itu baru tahu di tahun 2014. Ketika ada pedagang yang datang ke kampung itu.
Pengetahuan penduduk hanya sebatas apa kata pedagang itu: sebagai bahan obat.
Obat apa? Tidak tahu.
Obat untuk orang Amerika. Dikirim ke sana.
Dalam bentuk bubuk daun Kenduma.
Maka orang di desa itu pun beralih sumber hidup. Dari mencari ikan menjadi pemetik daun Kenduma.
Mereka meninggalkan rawa dan sungai yang terik. Beralih ke dalam semak yang rimbun.
Daun itu lantas dijemur. Enam hari kering.
Si pedagang mengirim mesin penggiling sederhana. Dijual ke pemetik daun. Untuk mengubah daun kering menjadi bubuk.
Sejak menjadi berita besar, polisi melarang perdagangan Kandema itu. Masa sejahtera pun lewat. Mesin penggiling nganggur. Bahkan mereka yang sudah telanjur menanam Kenduma menjadi gamang: akan diapakan tanaman itu nanti.
Semua obat bisa disalahgunakan. Sebatas masih dalam bentuk herbal mestinya tidak bahaya.
Baiknya ada yang berkonsultasi dengan Asosiasi Kratom Amerika. Agar jelas sejelas-jelasnya: di mana posisi Kenduma. Itu tergolong mariyuana, hemp, atau ada jenis lain lagi.
Unair, Unpad, dan UGM bisa turun tangan. Melihatnya secara ilmiah. Siapa tahu justru bisa jadi unggulan industri kita.(*)