Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Dipandang sebelah mata oleh para gadis, jujur saja, membuatku minder. Karena itulah aku tidak mau memikirkan mereka. Kenyataan ini sama persis dengan yang kubayangkan sebelumnya. Hanya dorongan Tante Yuni yang membuatku sedikit mau mencoba.
Fakta bahwa tidak satu pun gadis bersedia menjadi pendampingku sebenarnya amat wajar. Mereka pasti takut tidak bisa mendapatkan kebahagiaan. Mereka juga khawatir memiliki keturunan yang cacat seperti aku.
Semasa SMA dan kuliah, sebenarnya ada beberapa gadis yang mendekatiku. Tapi, setiap aku merasa semakin dekat, mereka mencoba mulai menjaga jarak. Beberapa pengalaman serupa akhirnya menjadikan aku sadar bahwa mereka ingin dekat denganku semata untuk memanfaatkan kepandaianku. Tidak melibatkan kata hati, melainkan kata kebutuhan.
Jadi, kalau aku sampai trauma terhadap perempuan sampai menjadi jomblo kasep adalah suatu yang wajar. “Budi jangan putus asa dengan rahmat Allah,” itulah yang selalu diingatkan Tante Yuni, tapi aku nggak peduli. Tante tidak pernah tahu apa yang kualami. Biarlah.
Aku semakin sibuk dengan pekerjaanku. Ini berdampak sangat positif terhadap perkembangan bisnis Tante Yuni. Peningkatan omzetnya tidak hanya puluhan persen, melainkan bisa ratusan persen.
“Etos kerjamu tidak jauh berbeda dengan bapakmu,” puji Tante Yuni.
“Kok Tante mengenal almarhum Bapak seperti orang dekat Bapak. Padahal Almarhum dan Tante tinggal berjauhan?”
“Kami dulu sangat dekat semasa SMA dan kuliah. Kami bekerja sama membantu membesarkan perusahaan almarhum Ayah. Sekolah dan kuliah sambil bekerja. Karena itulah Tante tahu betul siapa almarhum Bapak Budi.”
Mereka berencana menikah. Tapi, almarhum Bapak tidak bisa menolak ketika dijodohkan Kakek. Kakek dan besannya adalah teman seperjuangan dalam perang kemerdekaan dulu.
Mereka sama-sama berutang nyawa. Setelah perang selesai, mereka mengikat janji akan besanan apabila Bapak memiliki anak lelaki dan temannya memiliki anak perempuan atau sebaliknya. Klop. Sesuai janji. Kakek memiliki anak lelaki, yaitu Bapak. Temannya memiliki anak perempuan, yaitu Ibu.
Beberapa bulan kemudian aku dan Tante Yuni tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan jarang bertemu walau hidup serumah. Hingga suatu malam, sehari menjelang ulang tahunku, Tante mengetuk pintu kamarku.
“Ya Tante,” kataku setelah membuka pintu.
“Boleh Tante masuk?”
“Monggo.”
Setelah berbasa-basi sejenak, kulihat ekspresi Tante Yuni berubah serius. “Ada sesuatu yang penting Tante?” tanyaku sambil memandang lekat wajah Tante. Meski usianya sepantaran dengan Bapak, Tante terlihat masih muda. Masih kencang. Kecantikan masih melekat di sana.
“Tante mau bertanya serius.”
“Ya Tante?”
“Budi benar-benar tidak mau menikah?” Aku diam, lalu mengambil napas panjang.
“Kalau ada perempuan yang mau menjadi pendamping Budi? Menjadi istri Budi? Mau?”
“Kalau memang itu pilihan Tante, aku tidak akan menolak.”
“Baiklah,” tutur Tante sambil menarik napas dalam-dalam.
“Aku melamarmu jadi suamiku.” (habis)
NB: kisah ini dikirimkan seorang pengusaha penyandang disabilitas, teman mengaji Memorandum tahun 2000-an, yang sekarang tinggal di Semarang.