Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Ternyata ketegasan cara mendidik almarhum Bapak sama dengan Tante Yuni. Memaksa aku bisa mandiri. Untuk apa pun. Tidak ada alasan bagiku minta belas kasihan orang lain meski aku menyandang disabilitas.
Akhirnya aku diwisuda sebagai sarjana. Aku sempat menangis karena kedua orang tua tidak bisa mendampingi. Mereka sudah bahagia menikmati keindahan di dunia sana.
Tante Yuni yang mendampingiku. Kebahagiaanku kubagi bersama dia. Memang Tante Yunilah yang selama ini membiayai hidupku. Termasuk biaya pendidikan, walau aku tidak pernah lepas mendapatkan beasiswa. Sejak SD hingga kuliah.
Kami bahagia.
Sepulang wisuda, Tante mengajakku berziarah ke makam Bapak dan Ibu. Bukan aku yang mengajaknya. Beberapa bulan setelah itu, Tante Yuni memanggilku. Dia menyarankan aku melanjutkan studi ke jenjang S2.
Aku menolak. Aku lebih enjoy membantu Tante Yuni menekuni berbagai bisnis dia yang banyak tersebar di kota-kota besar. “Ya udah kalau itu kemauanmu. Tapi kalau sewaktu-waktu berubah pikiran, Tante siap membantu,” kata Tante.
Aku tenggelam dalam kesibukan. Aku sangat menikmati. Tidak memikirkan masa depan pribadiku. Sampai suatu saat Tante memanggilku, “Budi tidak kepikiran ingin menikah?”
“Tidak Tante.”
“Tidak atau belum?”
“Tidak. Atau mungkin belum. Aku tidak pernah memikirkannya Te.”
“Usiamu sudah cukup. Sudah waktunya punya pendamping.”
“Adakah perempuan yang mau jadi pendamping orang semacam aku?”
“Lho, jangan bicara begitu. Allah mahakuasa dan bisa berbuat apa saja untuk membahagiakan hambanya.”
“Tapi aku tidak ingin menyengsarakan perempuan yang mendampingiku nanti.”
“Ya sudah. Tapi pikirkan saran Tante untuk mencari pendamping.”
Jujur saja, pembicaraan dengan Tante Yuni tadi menyadarkan aku tentang diriku seutuhnya. Sebagai lekaki normal, meski fisikku tidak sempurna, memang aku membutuhkan perempuan sebagai pendamping.
Masalahnya, mungkinkah ada perempuan yang bersedia menikah denganku? Pengamatanku selama ini, penyandang disabilitas selalu mendapatkan pendamping penyandang disabilitas. Ndak apa-apa sih. Tapi adakah yang mau denganku?
Aku mencoba membuka mata lebih lebar. Melihat lebih luas.
Aku juga memperlebar pergaulan dengan banyak komunitas. Tapi, tidak ada satu pun yang nyantol. Kebanyakan malah memandang aku dengan sebelah mata. Memuji, tetapi selalu disertai kata sayangnya. Misal, “Budi itu orangnya pinter, tapi sayang fisiknya tidak sempurna.”
Atau, “Kalau kita perhatikan, Budi itu ganteng. Sayang ya.”
Atau, “Andai Budi tidak begitu, aku mau jadi istrinya.”
Dll.
Dsb.
Dst. (bersambung)