Cinta Gadis Facebooker (1)

Jumat 12-11-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Seperti Dijaga Raqib dan Atid

Riza (bukan nama sebenarnya) mengaku menyesal tidak menurut orang tuanya. Hidupnya sempat berantakan karena sikapnya itu. Kisah Riza berawal saat masih duduk di bangku kelas satu SMA. Hobinya bermain facebook telah memalingkan konsentrasinya sebagai pelajar. Dia lebih tertarik berlama-lama menghadap layar HP atau komputer untuk ngobrol dengan teman-teman facebook-nya. Berbagai cara dilakukan orang tuanya agar Riza kembali konsentrasi menekuni pelajaran di sekolah. Sayang, niat baik orang tuanya itu justru dianggap Riza sebagai tekanan dan paksaan. Bila disuruh belajar, Riza tidak langsung mengiyakan. Perempuan agak cantik yang berparas mirip Ariel Tatum—tapi KW 3-nya—ini justru pamit belajar bersama ke rumah teman. Dia memang berangkat ke rumah temannya itu. Namun bukan bukan untuk belajar, tapi numpang main game. “Aku memang ke rumah teman itu. Aku bilang ke ibunya mau belajar bersama dan dipersilakan. Kami lantas masuk kamar. Temanku itu memang belajar, tapi aku facebook-an sendiri,” kata Riza, yang mengaku yakin sang ayah pasti mengecek keberadaannya dengan menelepon orang tua temannya. “Satu kosong,” imbuhnya, lantas tertawa kecil. Hal itu terjadi tidak hanya sekali-dua kali. Melainkan berkali-kali hingga tak terhingga. Hasilnya Riza tidak naik kelas. Kemarahan orang tua, terutama ayahnya, tak dihiraukan. Riza dipindah sekolah berbasis agama dan dititipkan ke pondok pesantren di Jombang. “Aku sempat ditampar Ayah. Sebab, di sekolah yang kutinggalkan, diam-diam aku menghabiskan tabungan teman-teman. Aku kan bendahara kelas,” aku Riza di atas motor yang diparkir di halaman Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Riza mengaku tidak serta merta bisa menolak keinginan sang ayah. Kalau itu nekat dia lakukan, Riza yakin dirinya pasti dihajar. Tidak hanya ditampar atau dijambak, tapi juga didera dengan sapu lidi seperti biasanya. Dan itu menyakitkan. Sangat. Akhirnya Riza terpaksa menjalani kehidupan pesantren yang dirasa aneh, yang tidak pernah dibayangan sebelumnya. Bayangkan, setiap hari harus bangun pukul 02.00 dini hari, terpaksa salat Tahajud dan mengaji. “Itu sangat berat, Sebab, jangankan salat Tahajud, selama ini aku tidak pernah salat apa pun. Memang tiap hari Ayah berteriak mengingatkan aku untuk salat. Aku selalu mengiyakan. Padahal, aku hanya memindah-mindahkan letak sajadah di kamar. Agar kalau dicek Ayah, dia percaya aku telah salat,” katanya sambil nyengir. Ternyata pengawasan di pesantren amat ketat. Tidak hanya oleh Bu Nyai, tapi juga oleh kakak-kakak senior yang lebih tinggi tingkat pendidikannya atau lebih lama tinggal di mess pondokan. “Kayak hidup di camp tawanan perang atau dipenjara,” imbuhnya. Yang menyiksa Riza, dia tidak bisa mengaji sama sekali. Padahal, setiap bakda  Subuh dan bakda Isya selalu diadakan pembacaan Alquran bersama. Riza hanya bisa tolah-toleh seperti tulup dikethek, eh kethek ditulup. “Malunya itu Om yang tidak ketulungan,” tuturnya. Riza juga mengeluhkan pengawasan terhadap dirinya yang super duper ketat. Jauh lebih ketat dari pengawasan terhadap teman-temannya. Sepertinya ayah Riza sudah me-wanti-wanti pemangku pondok agar lebih ketat dalam mengawasi dirinya. Kalau teman-temannya masih boleh keluar mess pada jam-jam tertentu, Riza sama sekali tidak boleh. Kalaupun terpaksa, Riza akan dikawal sedikitnya oleh dua santri senior. “Mereka kayaknya takut aku kabur,” kata Riza, yang menambahkan bahwa pengawalan itu dilakukan seperti Malaikat Raqib dan Atid. Menempel kayak perangko. Itu pun masih ditambah pengawasan jarak jauh oleh beberapa sekuriti. (jos, bersambung)  
Tags :
Kategori :

Terkait