Pernikahan Santriwati (1)
Selasa 28-09-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi
Naksir Gus Ipul sejak Idtidaiyah
Seorang perempuan belia duduk di pojok ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya. Wajahnya nestapa. Sedih.
Di belakangnya, seorang pria paruh baya berdiri sambil memegang pundaknya. Lembut. Penuh kasih sayang. Memorandum pernasaran dan bertanya kepada pria tadi, “Istrinya?”
Pria tersebut menggeleng, lantas tersenyum. Belum sempat kami bicara, muncul pengacara yang sudah lama Memorandum kenal. Sebut saja Ikin. “Pak, Mbak. Ke kantor saya saja,” kata Ikin sambil memberi kode kepada pasangan tadi.
“Mas Jos juga bisa ikut kalau mau,” tawarnya kemudian.
Kami pun beriringan keluar gedung PA menuju kantor Ikin tak jauh dari situ. Di jalan, Ikin memperkenalkan pasangan tadi, yang ternyata bukan suami dan istri, melainkan bapak-anak.
Sesampai di kantornya, Ikin berbincang serius dengan para kliennya. Memorandum menunggu di teras sambil menikmati secangkir kopi racikan sendiri plus sepiring ubi rebus.
Sekitar setengah jam kemudian tamu-tamu tadi pulang. “Lucu,” kata Ikin setelah mengiringkan kepulangan kliennya tadi. “Mas Jos pasti tertarik menuliskannya,” imbuh pengacara berhobi pingpong dan biliar ini.
Tanpa menunggu respons Memorandum, Ikin bercerita bahwa gadis tadi, sebut saja Umu, pernah mondok di Jombang. Mulai kecil. Sebelum duduk di bangku sekolah. “Dia dititipkan di rumah pemangku pondok,” kata Ikin.
Umu disayangi keluarga sang kiai, sebut saja Soleh. Juga istri kiai, sebut saja Nyai Siti. Umu dianggap anak sendiri dan bebas ber-apa saja di lingkungan rumah maupun di lingkungan pondok.
Tidak hanya Kiai Soleh dan Nyai Siti, anak semata wayang mereka, Gus Ipul, pun menyayangi Umu. Usianya 10 tahun di atas Umu. Seiring waktu mereka tumbuh besar hingga dewasa.
Ketika Umu mulai duduk di bangku ibtidaiyah (setara sekolah dasar, SD), Gus Ipul diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi di Surabaya. “Ternyata diam-diam Umu menaruh hati kepada Gus Ipul. Jatuh cinta,” kata Ikin.
Walau begitu Umu tidak berani mengungkapkan isi hati. Perasaan itu dia pendam di dalam hati. Pendam sedalam-dalamnya. Maklum, Umu masih anak-anak. Masih SD.
Walau begitu, diakui Umu bahwa dia berharap suatu saat nanti dipanggil Bu Nyai dan ditawari menikah dengan Gus Ipul. Harapan ini membesar ketika Umu masuk jenjang tsanawiyah (setara SMP).
“Di lingkungan pondok, santriwati dilamar keluarga pemangku untuk dijodohkan dengan putra-putra mereka memang sudah jamak. Sudah biasa. Jadi, harapan Umu dijodohkan dengan Gus Ipul tidak berlebihan,” kata Ikin, yang keluarganya di Madura juga memiliki pondok pesantren.
Tapi harapan tinggal harapan. Hingga Bu Nyai meninggal karena digerogoti kanker, Umu tidak pernah dipanggil untuk ditawari menikah dengan Gus Ipul. (jos, bersambung)
Tags :
Kategori :