PON, Penistaan Olahraga Nasional

Sabtu 11-09-2021,11:11 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Persaingan kualitas ribuan atlet Indonesia kembali dipertontonkan. Mereka bakal beradu kemampuan di tanah Papua, yang direncanakan dibuka 2 Oktober 2021 oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. PON bisa disebut titik kulminasi pembinaan olahraga di negara ini. Kemampuan ribuan atlet bakal dilihat rakyat. Dari banyak provinsi, atlet berdatangan dengan satu tekad yang sama: menang dan juara! Tiap PON berlangsung pasti ada yang berbeda. Minimal perbedaan itu ada pada cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan. Biasanya, tuan rumah PON memiliki “kekuasaan” menambahkan cabor yang menguntungkan daerahnya untuk menyabet medali emas. Medali kebanggaan semua atlet mana saja. Pun begitu, tuan rumah juga memiliki power mencoret cabor yang menguntungkan daerah pesaing. Alhasil setiap PON jamak terjadi perpindahan atlet hingga kadang menimbulkan perselisihan antardaerah dalam perebutan atlet. Oleh sebagian daerah, perpindahan atlet diartikan riak-riak PON. Sebagian lain menilai perpindahan atlet lebih pada penistaan daerah hingga menimbulkan proses pembunuhan pembinaan olahraga. Disebut penistaan daerah, perpindahan atlet lebih didasarkan atas persoalan keuangan dan gengsi daerah. Gak kebayang perasaan daerah asli atlet yang repot-repot membina sejak masih junior, begitu si atlet “matang” dan “ranum” dipetik daerah lain demi menjaga gengsi daerah dengan iming-iming uang besar. Padahal status atlet yang berlaga di arena PON adalah amatir bukan profesional. Parahnya lagi si atlet hooh-hooh saja tanpa mempedulikan tangisan daerah yang melahirkan dan membesarkan kemampuan teknisnya hingga masuk sebagai kategori atlet juara. Hal lain yang disebut penistaan daerah dalam ajang PON adalah masalah bonus. Semua daerah selalu bersaing besar-besaran soal ini. Daerah A misalnya mematok sekian ratus juta rupiah sebagai bonus peraih medali, daerah lain (daerah B, C, dan lain) pasti juga melakukan hal yang sama. Kesan jor-joran besar-besaran rupiah bonus menyeruak di tengah pertandingan PON. Sebagian menilai hal demikian mematikan pembinaan atlet. Mereka menilai “lomba” besar-besaran bonus PON tidak mengedepankan etika sosial bagi rakyat di daerah si atlet tinggal. Seorang atlet meraih gelar juara adalah lumrah karena tugas atlet memang merebut gelar juara sebagai tanggungjawab dirinya yang digembleng dan dilatih dengan menggunakan dana APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) seperti yang selama ini atlet terima. Lantas dua hal ini yang selalu membayangi perhelatan akbar olahraga nasional hingga memunculkan dugaan rakyat bahwa PON dijubeli berbagai kepentingan politik. Tentu saja boleh ada yang mengatakan PON sebagai ajang komunikasi politik para pemegang kekuasaan daerah. Sehingga menggelontorkan bonus besar terhadap atlet juara PON menjadi tujuan utama sang penguasa daerah agar mendapatkan pujian baik dan peduli olahraga. Kalau memang demikian, bisa jadi PON bukan lagi sebagai arena Pekan Olahraga Nasional yang menjadi titik kulminasi pembinaan olahraga, tetapi menjadi ajang Penistaan Olahraga Nasional (PON).(*)    

Tags :
Kategori :

Terkait