Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (4)

Kamis 29-07-2021,06:06 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

"Pragola! Tinggalkan lawanmu, kembalilah ke tengah pasukanmu!" perintah Ki Sentot dengan suara yang terlambari tenaga dalam. "Tidak, Kiai!" bantah Pragola. Ia merendahkan Ki Jayapawira dengan berkata, "Biarkan saya yang hadapi orang tua kering ini. Tak lama lagi ia akan menyesali keputusannya terlibat dalam perang ini." Pragola  berseru nyaring sambil menerjang ke depan dan menyerang Ki Jayapawira dengan garang. Pedangnya berkelebat cepat seperti sambaran elang, berusaha menutup gerak lawannya yang gesit menghindar. Pragola seakan terbungkus warna merah dari pedangnya yang berlumur racun dari bisa ular bercampur racun dari hewan lainnya. Ki Jayapawira terdesak cukup hebat, usianya yang merambat jauh mau tidak mau telah mengurangi kegesitannya. Ditambah lagi pertarungan sebelumnya dengan Ubandhana maka tubuhnya bergerak semakin lambat. Namun ia merasa belum sampai pada titik akhir tenaga dan ilmunya, tiba-tiba terdengar ia tertawa dari balik tombaknya yang berputar menangkis serangan Pragola. Asap putih terlihat keluar dari telapak tangannya lalu merambat keluar menyelubungi tombaknya dari pangkal hingga ujung runcingnya, pada saat itu ia memutar tombak lebih cepat dan tubuhnya tidak lagi bergeser tempat. Pragola semakin gencar menggebrakkan serangan-serangannya. Ia melipat gandakan tenaga ketika kekuatan lawan  beralih lebih tinggi. Dalam sekejap aroma anyir merebak di arena pertarungan. Semakin lama bau anyir seperti bau bangkai yang terbakar itu meluas hingga memasuki indra penciuman orang-orang yang bertempur di sekeliling dua senopati itu.

Baca Juga :

  Tentu saja bau itu menjadi gangguan yang menyakitkan orang-orang biasa. Para prajurit yang bergulat dengan nyawa itu semakin menjauh sehingga kini lingkaran perang tanding menjadi semakin luas. Hantaman demi hantaman Pragola yang datang bergelombang belum dapat mengoyak kekokohan benteng Ki Jayapawira. Gumilang yang tidak terikat pertarungan satu lawan satu memanfaatkan  kekosong yang melingkari Ki Jayapawira dan Pragola. Ia membawa beberapa orang prajurit berkuda melintasi arena yang kosong untuk menusuk ke garis belakang musuh. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi kemampuan penunggang kuda itu di atas rata-rata prajurit kebanyakan. Mereka mahir menggunakan banyak senjata dari atas kuda. Pergeseran Gumilang tak lepas dari pengamatan Ki Sentot. Ia meneriakkan perintah pada senopati pengapit Ki Wisanggeni untuk menutup celah dalam gelarnya. Ujung tombak Ki Jayapawira menebas dada Pragola, tetapi lawannya gesit mengelak sambil berkata, ”Sudahlah. Untuk orang seusiamu sudah sepantasnya menimang cucu atau berada di pategalan menikmati hari.”  Namun Ki Jayapawira tidak membiarkan Pragola melanjutkan kata-kata, tombaknya mengejar Pragola yang memandang rendah dirinya. Tombaknya meluncur ke arah wajah Pragola, dan kepalan tangan kirinya melesat memasuki dada lawannya. Pragola selangkah mundur, mempersiapkan tenaga inti untuk menerima pukulan ke dadanya dengan satu kepalan yang akan dibenturkannya pada tangan Ki Jayapawira. Terjadilah benturan dahsyat yang disertai lambaran tenaga inti yang luar biasa. Keduanya beringsut mundur, tetapi Ki Jayapawira masih sempat memilin tombak pada tangan kanannya lalu tiba-tiba tombak itu seperti menancap pada ujung jari telunjuk Ki Jayapawira. Pragola mengumpat kotor, ia tidak menyangka jika lawannya dapat memilin senjata dan memutarnya dengan dua jari dan seolah terpaku pada jari telunjuk. Ujung tombak Ki Jayapawira mampu menggapai dada Pragola dan melesak masuk sedalam jari kelingking. Selagi Pragola terhuyung ke belakang, lawannya telah mendorongkan telapak kakinya dan menghantam dada Pragola, tubuhnya terlempar, jatuh terjengkang. Sorak sorai prajurit Majapahit dan pengawal Sumur Welut segera menggema menjatuhkan semangat prajurit lawan. Kenyataan pahit diterima oleh pasukan Ki Sentot dalam waktu tidak begitu lama. Dua senapati yang berkemampuan tinggi telah roboh. Terbunuh tangan dingin seorang lurah prajurit yang berusia senja. Seorang penghubung mengatakan kematian Ubandhana dan Pragola pada Gajah Praba. Wajah senapati muda ini memerah seketika, betapa sahabat baiknya telah kalah dalam perkelahiannya melwan prajurit tua, sedangkan mereka mempunyai kebanggaan sebagai prajurit muda berpangkat tinggi sebelum menyimpang di depan Bhre Kahuripan. Ia menggeram marah, sesaat kemudian ia memberi perintah-perintah dengan kata-kata yang hanya dapat dimengerti oleh pasukannya. Suara Gajah Praba bergetar hebat membakar semangat prajurit yang berada dalam sayapnya. Dan akibat dari perintah yang diteriakkan Gajah Praba adalah prajurit Ki Sentot mengubah gelar perang, dan kini mereka bertempur dalam gelar yang tidak dipahami oleh prajurit lawannya. Perubahan itu memberikan hasil menakjubkan! Kemajuan lekas teraih, pasukan sayap Gajah Praba dapat memukul mundur barisan Sumur Welut. Sementara Ki Jayanti yang menjadi senapati pengapit Gajah Praba, kini telah beralih kedudukan sebagai penopang barisan pemukul yang berada di depannya. Ki Jayanti, orang kepercayaan Ki Sentot Tohjaya, bergerak seperti rajawali yang menyambar-nyambar. Tiba-tiba saja ia muncul di sisi kanan pasukannya, lalu menghilang dan mendadak menggebrak di sebelah kiri. Sebagai orang berilmu tinggi, Ki Jayanti adalah orang yang mahir menggunakan berbagai macam senjata. Dalam keadaan itu, ia  menggunakan rantai panjang yang mematuk-matuk, melilit banyak senjata dan melemparkan banyak tubuh prajurit lawan. Kekacauan benar-benar melanda sayap pasukan Ra Caksana. Dua orang petugas penghubung segera membagi pekerjaan. Seorang petugas melompat ke punggung kuda dan menghentaknya menuju Ki Rangga Ken Banawa yang berada di tengah gelar pasukan induk. Satu orang lantas menyusup di sela-sela senjata yang berkelebat, melompati tubuh-tubuh yang tergeletak bujur lintang menuju ke arah Gumilang yang sedang memimpin pasukan berkuda menggempur pasukan Ki Wisanggeni. “Ki Rangga!” seru seorang penghubung ketika melihat Ken Banawa melintas di depannya sambil memberi aba-aba ada pasukan pengawal Sumur Welut. Ki Rangga menoleh ke arah suara, sahutnya kemudian, ”Aku melihat kekacauan itu. Bagaimana kedudukan kita sekarang?” “Ra Caksana terluka dan telah ditarik mundur,  Ki Rangga,” jawab petugas penghubung yang sudah berjarak sekitar tiga langkah dari Ken Banawa. Ia melanjutkan, ”Sayap pasukan tidak mempunyai seorang pengganti Ra Caksana. Pasukan kita di sayap itu terdesak jauh ke belakang, Ki Rangga.” “Apakah Gumilang telah mengetahui perihal itu?” “Seorang penghubung telah menuju tempatnya sekarang.” Ken Banawa menganggukkan kepala kemudian memberi perintah pada beberapa pemimpin kelompok yang berada di dekatnya untuk mengikutinya menuju tempat Ki Sentot Tohjaya. Katanya, ”Kalian akan pergi bersamaku dan harus dapat mencapai tempat Ki Sentot berada. Dan katakan pada Gumilang, untuk tetap menahan pasukan berkuda Ki Wisanggeni.” “Ki Rangga!” kata petugas penghubung itu kebingungan,”bagaimana dengan sayap Ra Caksana?” Ken Banawa menatapnya tajam.  Lalu ia berkata, ”Pasukan ini akan menuju tempat Ki Sentot dengan jalan memutar. Kami akan mencoba membelah kekuatan mereka, sekarang, lihatlah!”  ia menunjuk ke arah pasukan Ra Caksana. Dari tempat mereka berada, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat membelah kerumunan pasukan Ki Jayanti. Seorang senapati yang berusia muda, Warastika, dengan lincah menyelinap di antara desing senjata dua pasukan yang masih tertib berada di dalam gelar. “Nah, sekarang kita bergerak!” perintah Ki Rangga Ken Banawa pada sekelompok kecil pasukan yang dipilihnya untuk mendekati Ki Sentot Tohjaya. Sementara itu Gumilang telah berbicara singkat dengan petugas penghubung yang berhasil mencapai kedudukannya. Ia mendengarkan laporan singkat dari petugas itu mengenai perkembangan sayap pasukan yang dipimpin oleh Ra Caksana. “Baiklah,” kata Gumilang kemudian, ”cari Warastika dan katakan padanya untuk mengambil alih kedudukan Ra Caksana.” Petugas penghubung itu bergegas menuju tempat Warastika tengah terlibat pergumulan sengit di antara kerumunan pasukan Ki Sentot Tohjaya. Ki Jayanti yang sedang membawa pasukannya merangsek maju mendesak selangkah demi selangkah sayap yang ditinggalkan Ra Caksana. Namun kemudian ia mendengar suara-suara penuh kemarahan terdengar dari sebelah kanannya. Banyak prajuritnya yang terlempar seperti dihantam angin puting beliung. Seorang anak muda dengan tombak pendek berwarna hitam tampak begitu mengerikan membelah gelar pasukan Ki Jayanti. Anak muda ini memutar tombaknya hingga terlihat seperti gulungan sinar hitam dan membuat porak poranda barisan prajurit lawan.

Baca Juga

  (bersambung)        
Tags :
Kategori :

Terkait