Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (1)

Selasa 27-07-2021,14:14 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Gaung lenguh dari tanduk kerbau yang panjang telah memenuhi udara sebagai babak baru. Perintah-perintah dari pemimpin kelompok terdengar bersahutan. Kesibukan luar biasa telah terlihat pada dua pihak yang berseteru. Dua kelompok besar yang sama-sama menata barisan. Sejumlah pengawas dari kubu Ken Banawa melihat keadaan gawat saat debu tebal membumbung tinggi. Setelah mereka melakukan pengamatan yang lebih teliti, para pengawas terperanjat. Mereka melihat pasukan berkuda dalam jumlah yang cukup besar telah bersiap untuk melanjutkan perang. “Mereka benar-benar siap menyerbu bahkan sebelum tanda perang belum ditiupkan,” kata seorang pengawal. “Keliru, justru mereka mungkin meminjam gaung tadi sebagai isyarat penyerbuan,” sergah temannya. “Pasukan berkuda Majapahit, bisa jadi, akan kesulitan hari ini.” Sebagian dari mereka bergegas melaporkan perkembangan terbaru pada Ken Banawa. Ken Banawa menerima laporan dengan kening berkerut. Dua pengawas menunggu keputusan Ken Banawa dengan gelisah. “Kami siap perintah, Ki Rangga,“ kata seorang pengawas. Ken Banawa meminta mereka untuk menunggu. Ia segera memanggil para pemimpin prajurit dan para pemimpin pengawal dari dua kademangan. Dalam waktu yang sedikit lama, mereka menimbang rencana setelah mendengar laporan para pengawas. “Bagaimana mungkin mereka lakukan itu? Bukankah mereka pun prajurit seperti kita?” bertanya seorang senapati muda. “Gaung tanduk kerbau, meski bukan sebagai tanda perang dapat dimulai, tetapi tidak ada ketentuan pasti tentang waktu pertempuran. Yang kita lakukan kemarin itu sepenuhnya berdasarkan kesadaran atau mungkin siasat. Musuh dapat saja berpiikir bahwa lawannya kalah dalam jumlah. Bisa juga mereka menyiapkan rencana yang lain. Perang adalah kekacauan yang penuh tipu daya,” kata Ken Banawa dengan pandang mata tertuju pada semua orang.

Baca Juga

Sejenak keheningan mendekap mereka. Fajar belum menampakkan diri. Garis timur masih gelap. “Saya pikir,“ Bondan berkata memecah kesunyian, ”selagi kita menyiapkan segala sesuatu atau membuatnya lebih sempurna, saya akan berbuat seperti yang dilakukan Ki Cendhala Geni. Mengacaukan barisan depan mereka dan melakukan sedikit benturan pada pasukan berkuda. Mungkin kekacauan itu akan dapat membuahkan hasil.” Ken Banawa bertukar pandang dengan Gumilang kemudian menarik napas dalam-dalam. Setelah merenung sesaat, Ken Banawa bertanya pemimpin pasukan berkuda itu, ” Bagaimana menurutmu?” Gumilang tercenung sambil berpikir keras tentang rencana Bondan. Kemudian katanya,”Pasukan saya dapat membendung laju mereka, tetapi, bila  usaha Bondan benar-benar dapat mengacaukan mereka maka itu adalah pukulan kita yang pertama.” Orang-orang berpaling pada Bondan dengan tatap mata penuh harap. “Saya mengerti,“ kata Bondan, ”dalam waktu itu mungkin saja Ki Cendhala Geni akan menghentikan usahaku. Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain.” “Saya akan berada di belakang Bondan, Paman,” kata Gumilang kemudian. ”Saya akan membagi pasukan ketika kami  telah berjarak dekat dengan mereka untuk mengurangi tekanan.” “Secepat apa engkau dapat menyiapkan pasukan?” Gumilang memejamkan mata. Sebelum dua kali tarikan napas, jawabnya, “Sebelum daun sirih hancur, kami akan berada di sana.” Gumilang menunjuk sebuah tempat yang terpampang dalam gelaran gambar di hadapan mereka. Sebelum Ken Banawa mengangguk setuju, Bondan telah berkelebat meninggalkan kemah, meluncur deras, menyerbu barisan terdepan pasukan Ki Sentot. Sepasang kaki Bondan begitu cepat dan ringan berderap, seolah-olah ia tengah melayang di atas permukaan tanah. Bahkan rumput pun nyaris tak bergoyang ketika tersentuh oleh kakinya. Sekejap kemudian ia telah membuka jalan masuk bagi dirinya sendiri. Bondan membuat keonaran yang kurang lebih sama dengan kekacauan yang diperbuat Ki Cendhala Geni sehari sebelumnya. Ikat kepala Bondan meliuk-liuk, mematuk leher dan lambung kuda, tendangannya pun melemparkan setiap orang yang mendekatinya. Rupanya pergerakan Bondan telah berada dalam perkiraan Ki Cendhala Geni. Lelaki tua berkemampuan tinggi, bahkan dikabarkan setara dengan Mpu Nambi, pun menghentak kekuatan, mengerahkan kemampuannya bergerak cepat, menuju angin ribut yang ditimbulkan oleh Bondan. Tak lama setelah itu, Bondan mengangkat kepalanya dan menoleh ke satu titik yang semakin lama semakin dekat dengannya. Ia memutuskan untuk menyongsong orang yang getaran kakinya seolah menimbulkan gempa bumi. Bondan berlari kecil ke arah orang yang berlari melebihi kecepatan anak panah. Dan ketika jarak keduanya semakin dekat, Bondan berjongkok di atas satu lututnya lantas melempar segenggam anak panah ke arah orang itu. "Gandrik!" geram orang itu lalu mengibaskan kapak yang tajam pada dua sisinya. Kegeraman itu membuatnya semakin menghentakkan kecepatan berlari sehingga tanah semakin tergetar lebih keras. "Ki Cendhala Geni," desis perlahan dari bibir Bondan. Matanya yang tajam segera mengenali sosok yang rambutnya berkibar-kibar dihempas angin. Baju tak berlengan dan tidak berkancing semakin menambah kesan garang pada orang yang disebut sebagai Ki Cendhala Geni. Segera Bondan berdiri dan berlari sangat cepat menusuk barisan pasukan berkuda Ki Sentot. "Mari bermain-main," desah Bondan perlahan. Dari kejauhan gerak gerik Bondan terpantau oleh Ki Wisanggeni. "Bersiap! Benturan segera terjadi di dekat kalian!" seru Ki Wisanggeni ditujukan pada barisan sebelah kanannya. "Dasar gila! Anak ini benar-benar akan mengacaukan barisan kuda Ki Wisanggeni," kata Ki Cendhala Geni dalam hatinya. Melihat Bondan yang berlari ke arah pasukan berkuda lawan, Gumilang semakin mempercepat laju kuda. Ia memerintahkan pasukannya semakin cepat agar dapat mengimbangi lari Bondan. Sepasang kaki Bondan seakan-akan terbang di atas rumput, dan terkadang tubuhnya seolah terbang ketika melompati tanaman perdu. "Siapkan anak panah!" teriak Ki Wisanggeni, "sekarang!" Sekejap kemudian puluhan anak panah melayang ke arah Bondan.

Baca Juga

  Beberapa saat sinar matahari terhalang oleh anak panah yang mengapung di udara, deras menggapai Bondan. Menyadari dirinya dalam bahaya, Bondan menggandakan kecepatan, lalu kerisnya berputar-putar seperti gasing. Keris di tangan Bondan seolah memancar selubung berwarna hijau yang menutupi tubuhnya. Bondan melenting cukup tinggi. Sewaktu tubuhnya berada di atas kerumun puluhan batang panah musuh, ia melontarkan serangan balik berupa segenggam panah ke arah pasukan Ki Wisanggeni. Kegaduhan segera terjadi dalam barisan itu ketika anak panah yang dilontarkan Bondan mampu menggapai sasaran. Tubuh Bondan meluncur deras ke bawah dan seperti tidak menginjak tanah, ia melesat ke pasukan berkuda Ki Wisanggeni. Namun Bondan harus mengurungkan niat ketika mendengar orang memaki-maki datang dari arah punggungnya. Seketika ia melenting, berjungkir balik di udara, lalu dilihatnya dengan jelas wajah orang yang mengejarnya. Sebatang anak panah yang tersisa pun dilontarkan dan sangat kencang meluncur ke dada orang tua bertubuh kekar. “Ia berputar arah. Sungguh lawan yang berbahaya,” desis Bondan sambil menukik tajam. Orang itu, yang ternyata Ki Cendhala Geni, meloncat ke atas dan melesat ke arah Bondan dengan terjangan yang sangat kuat. Sinar putih bersinar menyilaukan, berputar-putar dengan garang mengeluarkan gema yang menggetarkan dada setiap telinga yang mendengarnya. Teriakan keras Ki Cendhala Geni berbarengan dengan serangan ganas. Ia menebas Bondan, kemudian dengan cepat menarik kapaknya lalu memutar dengan gagangnya lalu menusukkan pada  mata Bondan. Arus serangan itu berakhir dengan satu tebasan mendatar yang mengarah pinggang murid Resi Gajahyana. Dengan demikian, Bondan secara beruntun terbelit dalam serangan yang terangkai dengan dahsyat. Bondan gesit mengelak serangan beruntun Ki Cendhala Geni. Sedikit ia meloncat mundur, lalu menerjang maju dan kini mereka terlibat dalam pertarungan yang sangat seru. Sesekali Bondan terdesak jauh ke belakang hingga berada sangat dekat dengan garis depan pasukan berkuda Ki Wisanggeni, dan kadang-kadang meledakkan serangan balasan. Segenap kemarahan Ki Cendhala Geni seolah mendapatkan sebuah jalan khusus. Ia menumpahkan kekesalan dan kemarahan melalui serangan-serangan yang sangat ganas. Demikian pula yang dilakukan oleh Bondan yang berhasrat kuat membuat perhitungan terakhir dengan mantan patih Kahuripan itu. (bersambung)
Tags :
Kategori :

Terkait