Yuli Setyo Budi, Surabaya Pucuk dicinta ulam pun tiba. Begitu pepatahnya. Dina akhirnya mendengarkan deklarasi cinta Parid tepat pada hari kelulusannya dari SMA. Dina bagai kejatuhan pohon durian. Bukan lagi mendapatkan durian runtuh. Bahagianya bertumpuk-tumpuk. Tantenya merestui hubungan mereka. Hanya omnya yang keberatan. Sebab, dia mengaku mendengar banyak hal negatif tentang Parid. Di antaranya, Parid sudah memiliki anak dan istri di kampungnya di Temayang, Bojonegoro. Kabar lain yang didengar om Dina, Farid adalah seorang pengedar narkoba yang mengamuflasekan bisnis haramnya dengan menjadi karyawan restoran. Masih ada beberapa kabar tidak baik tentang Parid. Tapi, semuanya sama sekali tidak dipercaya oleh Dina. Di mata perempuan ini, Parid adalah sosok pahlawan yang sangat sempurna. Parid hadir ketika dia menghadapi kesulitan biaya sekolah. Parid pulalah yang memaksa Dina melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Bahkan membiayai hingga lulus. Parid tidak pernah mengganggu Dina dengan mengajaknya nikah di tengah studi. Lelaki yang selisih usianya mencapai 11 tahun dari Dina ini sabar menunggu hingga lulus. Hingga wisuda. Berbeda dengan omnya yang tidak mendukung hubungan Dina vs Parid, tante Dina justru membuka lebar-lebar tangannya untuk menerima Parid. Mungkin saja ini dipengaruhi keloyalan Parid terhadap si tante. Parid memang sering memberikan hadiah yang tidak murah kepada tante Dina. Ketika didesak dari mana Parid memiliki duit untuk membeli barang-barang itu, Parid mengaku memiliki sawah yang sangat luas di kampung halamannya di Temayang, Bojonegoro. Pengakuan Parid, warisan turun-temurun dari leluhurnya tersebut tidak akan habis dimakan untuk 11 turunan. Parid baru menikahi Dina setengah tahun setelah perempuan ini diwisuda. Tidak ada pesta meriah. Mereka hanya ijab kabul dan tumpengan di rumah Dina. Tanpa kehadiran kedua orang tua Dina—yang kabur entah ke mana. Tanpa ehadiran omnya. Dari pihak Dina hanya ada tantenya. Demikian juga dari pihak Parid, sama sekali tidak ada keluarga yang mendampingi pengantin pria. Menurut Parid, kedua orang tuanya sudah meninggal. Mereka masing-masing adalah anak tunggal yang tidak memiliki kerabat dekat. Selama berumah tangga Dina hanya sekali diajak ke Temayang. Pada hari raya Idul Fitri pertama setelah pernikahan mereka. Itu pun tidak ke rumah Parid atau kerabat-kerabat lain. Beralasan bahwa ayah-ibunya serta kakek-neneknya sudah tidak ada semua, Dina hanya diajak menginap di hotel kawasan kota untuk menginap. Pagi harinya baru diajak ke Temayang. Di desa yang berjarak sekitar 27 km dan membutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam itu Dina ditunjuki titik-titik lahan milik Parid. Tidak hanya di satu daerah, melainkan terpencar di beberapa wilayah. Dina hanya dapat melihatnya dari mobil. Keinginan Dina untuk turun ke sahan dan membasahi kakinya dengan lumpur kehidupan di pedesaan tak kesampaian. Parid tak mengizinkan turun. Parid beralasan takut kaki istrinya dijadikan rebutan cacing sawah. “Tapi bener nggak Parid punya anak dan istri seperti dicurigai om Dina?” tanya Memorandum kepada pengacara Dina. (bersambung)
Kaki Mulus Istri Ditakutkan Jadi Rebutan Cacing Sawah
Rabu 12-12-2018,13:24 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :