Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Pada awal pernikahan, Furi dan Nia saling menjaga perasaan. Suka mengalah dan menghargai kepentingan pasangan. Tapi, itu hanya berjalan dua-tiga bulan. Setelah itu, muncullah sikap orisinal masing-masing.
Nia mulai berani menentang Furi. Kadang bahkan disertai emosi. Furi mencoba mengendalikan keadaan. Dia lebih banyak diam dan menuruti kemauan istri. Dia tak mau rumah tangganya kembali hancur. Perceraian dari istri pertama menjadikan Furi trauma. Furi tidak ingin bercerai lagi.
Furi mengaku, Nia memang termasuk perempuan yang memiliki temperamen tinggi. Bila Furi berbuat salah sedikit saja, emosi Nia bisa meledak-ledak. Meski sudah dinasihati untuk belajar sabar dan tak gampang marah, Nia tidak pernah bisa bersikap seperti apa yang diinginkan sang suami.
Parahnya, walau berpenghasilan lumayan besar, Furi tidak pernah bisa menyisihkan uang. Jangankan menabung, membeli rokok saja kadang sulit dan harus diam-diam menyisihkan uang. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena semua uang gajian diberikan Nia. “Saya awalnya mengira uangnya ditabung,” ungkap Furi.
Suatu hari Furi minta uang untuk biaya renovasi rumah. Bukannya mendapat apa yang dia minta, Furi malah mendapat omelan. Furi yang mencoba bersabar bahkan dikata-katai sebagai lelaki lemah yang tidak bisa membahagiakan istri. Tidak ada bedanya dengan suami terdahulu. Dibanding-bandingkan dengan lelaki lain, Furi tidak lagi bisa mengontrol emosi. Keributan pun terjadi. Kemarahan Furi melonjak ketika Nia mengejeknya sebagai lekaki kere.
Emosi Furi sampai di ubun-ubun. Apalagi, pada saat bersamaan Malah menghambur ke ayahnya dan mengatakan Nia memang jahat. Suka berkata kasar dan main tangan sembarangan.
Tanpa banyak kata lagi, Furi menggeret Malah keluar. Dibawanya Malah ke rumah neneknya. Warga Sawahan ini kemudian kembali dan mencoba mendinginkan rumahnya yang panas.
Tapi, apa yang terlihat di rumah? Semua berantakan. Meja-kursi, bufet, dan benda-benda lain tidak lagi berada di tempatnya. Televisi LED bahkan pecah berantakan dan tercecer di lantai.
“Nia tidak ada di rumah. Dia pergi bersama anaknya, Eli (nama samaran, red), entah ke mana. Mungkin ke rumah tulang-nya (paman) di Sidoarjo,” kata Furi.
Disusul ke Sidoarjo, ternyata Nia tidak ada. Kata tulang-nya, Nia sempat mampir dan pamit pulang kampung ke luar Jawa. “Jangan pedulikan dia (Nia, red). Dengan suami pertamanya dulu juga begitu. Selalu soal harta yang jadi masalah,” kata lansia yang tampaknya juga kurang menyukai Nia ini. (habis)