Oleh: Arief Sosiawan (Pemimpin Redaksi) Tiga suku kata; radikalisme, terorisme, dan separatisme, akhir-akhir ini sering muncul dalam obrolan atau pembicaraan masyarakat Indonesia. Paling tidak, tiga suku kata itu menjadi menarik seiring semakin memanasnya suhu politik di negara ini. Berbagai media, televisi, radio, online, dan cetak juga sering menulis atau membahas tiga suku kata itu. Semuanya terkait kondisi negara saat ini, seperti gerakan aksi massa 212, #2019GantiPresiden, terjadinya pengeboman seperti di Surabaya dan sekitarnya, hingga kemunculan gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ketiga suku kata tadi sering diucapkan para politisi atau pengamat politik di negara ini. Dipakai untuk “menggoreng” isu-isu politik terkait Pilpres 2019 dan atau isu-isu pencalegan. Kejadian demi kejadian itu memberikan pengaruh pada masyarakat kita. Cukup membuat perasaan warga negara Indonesia terusik. Begitu pula pemerintahan kita. Terusik. Apalagi, di kalangan masyarakat ada yang memunculkan pendapat bahwa kejadian demi kejadian itu dapat memunculkan upaya makar. Masalahnya, kejadian-kejadian tadi membuka peluang menculnya perbedaan di masyarakat. Karena itulah, wajar bila pemerintah memberikan instruksi kepada aparat agar segera menyelesaikan dan mengakhiri kejadian-kejadian itu. Ingat bagaimana polisi dan aparat keamanan lain menangani kasus pengeboman di Surabaya? Kepolisian dan TNI bersama-sama dan kompak menanganinya. Mereka bekerja sama dan dalam waktu singkat berhasil menangkap pelaku, menyisir kawasan yang dicurigai sebagai kantong teroris, dan melakukan langkah-langkah pencegahan sesudahnya. Ada aparat yang dengan tegas menembak pelaku hingga tewas. Ada yang hanya ditahan. Ada pula yang sekadar dimintai keterangan walau akhirnya dilepas tapi disertai pengawasan melekat. Begitu pula kala menangani gerakan aksi massa 212, aparat kepolisian begitu serius melakukan tugas. Temasuk saat menangani gelar aksi #2019GantiPresiden di beberapa wilayah di negara ini, aparat kepolisian (didukung aparat keamanan) sangat peduli, bahkan terkesan cepat menanganinya hingga menimbulkan gesekan di tingkat masyarakat bawah. Sayang semua itu tidak terlihat dilakukan aparat keamanan ketika negara kita digangggu aksi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Padahal, jelas-jelas mereka melakukan aksi makar: menuntut kemerdekaan. Aparat kepolisian terkesan lunak. Buktinya, orang-orang Papua yang beraksi di Surabaya hanya dikembalikan ke daerah asalnya tanpa ditahan. Padahal, kejadian di Surabaya jelas-jelas mengganggu kedaulatan negara kita. Mereka dengan gegap gempita menyatakan, “bukan merah putih tapi bintang kejora” yang viral di media sosial. Ini bisa diartikan sebagai aksi makar. Puncaknya kejadian di Nduga, Papua, yang memakan korban puluhan pekerja Trans Papua. Aparat kepolisian dan keamanan tak sesigap ketika menangani aksi-aksi lain seperti aksi 212 atau aksi #2019GantiPresiden. Kenapa? (*)
Papua, Kami Sayang Kamu
Senin 10-12-2018,09:15 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi
Tags :
Kategori :
Terkait
Terpopuler
Selasa 19-11-2024,15:18 WIB
Dilaporkan Hilang, Remaja 23 Tahun Tewas Bunuh Diri di Lahan Kosong HR Muhammad
Selasa 19-11-2024,12:49 WIB
Masih Tunggu Hasil Autopsi, Saksi Dugaan Pembunuhan di Ngaglik II Bertambah
Selasa 19-11-2024,19:09 WIB
Inilah Susunan Resmi Indonesia vs Arab Saudi, STY Rotasi 3 Pemain
Selasa 19-11-2024,11:40 WIB
Usai Pesta Miras, Pria Sepanjang Terjun ke Sungai Dekat Tambangan Pagesangan-Kebraon
Selasa 19-11-2024,06:00 WIB
Pilkada Kota Malang 2024, Gus Dien Dukung Abah Anton
Terkini
Selasa 19-11-2024,22:37 WIB
Gelar Multaqo Ulama se-Jatim, Ini Keyakinan Gus Miftah pada Khofifah
Selasa 19-11-2024,22:30 WIB
PC PMII Lamongan Gelar Diskusi Publik untuk Jaga Kepercayaan Publik pada Pilkada Serentak
Selasa 19-11-2024,22:22 WIB
Gus Iqdam Dukung Abah Anton dan Dimyati Ayatulloh
Selasa 19-11-2024,22:14 WIB
Sambut Pilkada, Satsamapta Polrestabes Surabaya Aktifkan Pos Shelter dan Optimalkan Personel
Selasa 19-11-2024,22:08 WIB