Imlek Bencana

Sabtu 13-02-2021,04:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan BAGI Royce, Imlek kemarin berarti bencana. Mungkin bencana yang ia bikin sendiri. Atau mungkin dibuat oleh papanya. Atau mungkin memang jalan hidup sudah harus begitu. "Apakah di malam tahun baru besok Anda akan hadir ikut makan malam bersama di rumah orang tua?" tanya saya pada Roy. Hari itu, Rabu lalu, Royce Muljanto ke rumah saya. Dua hari sebelum Imlek. Itu untuk kali pertama saya kenal Roy. Juga untuk kali pertama Roy ke rumah saya. Saya harus bertanya kepadanya soal malam tahun baru itu. Kalau Roy masih berniat tetap ke rumah papa-nya berarti pertengkaran anak-papa ini segera berakhir damai. "Saya akan ke rumah papa. Bersama istri dan anak saya. Sebagai anak saya harus begitu. Tahun lalu pun, di malam Imlek, saya juga ke rumah papa," ujar Roy Rabu lalu. Dua tahun lalu Roy sudah bertengkar dengan papanya: Muljanto, bos Liek Motor. Yang biasa dipanggil the King. Yang di Surabaya paling terkenal namanya. Yang showroom dan bengkelnya ada di mana-mana. Pertengkaran dua tahun lalu itu begitu hebatnya sampai Roy masuk tahanan. Lalu jadi terdakwa di pengadilan. Menurut Roy, kesalahan yang dituduhkan jaksa kepadanya adalah: merusak benda orang lain. Pemilik benda yang dirusak itu sebenarnya tidak mempersoalkan. Juga tidak minta ganti rugi. Bahkan minta diperbaiki pun tidak. Hari itu, tahun 2018, Roy mendatangi showroom Liek Motor yang di Jalan Indrapura, Surabaya. Ia tembaki mobil yang ada di situ. Lalu Roy pergi. Papanya, menurut Roy, tidak bereaksi apa-apa. Padahal Roy ingin bisa dipanggil menghadap sang papa. Berikutnya Roy mencari tahu siapa backing papanya. Ketemu. "Seorang pejabat di Pemkot Surabaya," katanya. Roy menyebut nama, tapi biarlah nama itu hanya diingat Roy. Roy pun mendatangi rumah pejabat itu. Kosong. Hanya ada mobil Innova di depan rumah itu. Maka mobil tersebut ia tembaki. Sampai kaca, lampu, dan bumper mobil itu rusak. Setelah itu ia pergi ke pos satpam di perumahan sepi itu. Ia berikan KTP kepada satpam. "Kalau ada yang mengadu mobilnya rusak, yang melakukan saya. Ini KTP saya. Silakan tangkap saya," ujar Roy menirukan kejadian dua tahun lalu itu. Roy akhirnya dicari polisi. Ia pun cari wartawan. Ia ingin wartawan tahu kalau ia akan ditangkap. Agar jadi berita. Agar heboh. Dengan demikian sang ayah akan memperhatikannya. Di jalan raya, setelah bertemu wartawan, polisi mengetahui keberadaan Roy. Polisi berusaha menghentikan mobil Roy. Tapi Roy mempercepat mobilnya. Dikejar. Roy kian ngebut. Ia ingin menghilang ke jalan tol, lewat bundaran Waru, Surabaya Selatan. Sepanjang pengajaran itu Roy bisa lolos. Termasuk ketika melewati daerah padat. Tapi di bundaran Waru itu mobil polisi yang lain mencegatnya. Roy tidak bisa lagi lari. Roy ditangkap. Roy ditahan. "Saya mencoba menghubungi papa. Tapi papa ke Singapura. Sengaja menghindar," ujar Roy. Tapi hari ke-5 di tahanan, papanya datang menjenguk. Roy mengira hari itu ia akan dikeluarkan dari tahanan. Roy merasa papanya orang kuat. Pengaruhnya besar. Setelah 10 menit bicara-bicara di salah satu ruang di kantor polisi, Roy bertanya pada bapaknya. "Terus bagaimana urusan ini?" Jawaban sang ayah di luar perkiraan Roy. "Ya kamu jalani saja dulu," ujar sang ayah seperti ditirukan Roy. Roy kecewa. Ternyata ayahnya membiarkan anaknya tetap ditahan. "Ya sudah Pa, saya jalani," kata Roy. Lalu meninggalkan sang ayah. Ia kembali ke ruang tahanan. Beberapa hari kemudian ada orang menemui Roy di kantor polisi. Orang itu memperkenalkan diri sebagai pengacara. Yang ditunjuk oleh ayah Roy untuk melakukan pembelaan kepada anak itu. Roy ikut saja apa kata pengacara. Termasuk ketika ia harus pindah ke rumah sakit. Untuk dirawat di RS. Dengan alasan, kata Roy, perlu observasi kejiwaan. Menurut Roy, pengacara itu juga minta agar Roy mau dirawat di RS Jiwa Menur. Dengan demikian tidak perlu diadili. Tapi Roy menolak. "Saya pilih dibawa ke pengadilan dan menjalani hukuman," katanya. "Kalau saya sampai mau dimasukkan ke RS Jiwa karakter saya akan rusak sampai pun ke masa depan saya," katanya. "Kelak orang bisa mengatakan Roy pernah dirawat di RS Jiwa. Saya tidak mau itu," tambahnya. Saat itu Roy sudah berumur 38 tahun. Sudah kawin. Sudah punya anak 1 orang. Mengapa Roy sampai bertengkar dengan ayahnya seperti itu? "Saya ini ingin mandiri. Ingin keluar dari perusahaan Papa. Saya ingin jadi pengusaha sendiri," jawabnya. "Untuk apa? Kan ngurus perusahaan Papa juga enak," tanya saya. "Saya kan ingin bisa beli mobil sendiri, beli rumah sendiri dan punya uang sendiri," jawabnya. "Apa sulitnya keluar dari perusahaan Papa?" tanya saya. "Selalu tidak diizinkan. Dihalangi," jawabnya. “Anda di perusahaan Papa diberi jabatan apa?" "Direktur Utama." "Kan sudah bagus," kata saya. "Berarti Papa Anda itu orang baik," kata saya. "Memamg saya direktur utama, tapi tidak punya wewenang apa pun di bidang keuangan. Semua pengeluaran harus ada tanda tangan Papa," jawabnya. "Apakah tidak ada aturan bahwa pengeluaran di bawah sekian juta tidak perlu lewat Papa?" tanya saya. "Tidak ada. Sekecil apa pun harus lewat Papa," jawabnya. Menurut Roy, akhirnya ia keluar paksa dari perusahaan ayahnya. Ia pun mendirikan usaha serupa dengan usaha ayahnya di Pamekasan, Madura. Sang ayah tidak ada masalah. Lalu Roy membangun bengkel mobil di Surabaya. Tidak jauh dari rumah sang ayah. "Begitu saya punya usaha di Surabaya bengkel saya diganggu terus oleh Papa," ujar Roy. "Intinya, Papa tidak mau saya punya usaha di Surabaya. Kalau di Madura tidak apa-apa," ujar Roy. Tapi Roy ingin berkembang di Surabaya. Ia merasa menguasai medan besar Surabaya. "Apa saja gangguan itu?" "Terakhir, Papa menyuruh orang menggergaji tangga di bengkel saya," ujar Roy. Itulah yang membuat Roy tidak tahan lagi. Lalu menembak mobil di showroom ayahnya tadi. Juga mobil milik pejabat itu. Yang membuatnya masuk tahanan itu. Dua tahun kemudian, usaha bengkel Roy tetap jalan dengan baik. Yang di Madura juga baik. Bahkan ia mendirikan bengkel mobil di Mojokerto. Ia membeli tanah persis di sebelah Liek Motor, Mojokerto. Lewat bengkelnya itu Roy punya maksud suatu saat akan membeli Liek Motor, Mojokerto, milik Papanya yang di sebelahnya itu. "Sekarang tidak mudah membeli Liek Motor Mojokerto. Papa ternyata sudah menjualnya ke orang lain," ujar Roy. "Tapi suatu saat harus bisa saya beli," tambahnya. Bulan lalu Roy punya pikiran baru. Ia mengatakan harus bisa mengambil alih showroom Liek Motor yang di Jalan Ketabang Kali, Surabaya. Yang letaknya persis di belakang Liek Motor yang ada di Jalan Walikota Mustajab –satu jalan dengan kantor Harian Disway. Niat itu ia laksanakan 1 Februari barusan. Hari itu Roy datang ke showroom tersebut. Ia bilang ke karyawan di situ –sekitar 20 orang– untuk pergi. "Saya sudah ambil alih usaha ini," ujar Roy kepada karyawan. Mereka tahu siapa Roy: anak juragan mereka. Yang tidak lain adalah dirut mereka di masa lalu. Mereka pun meninggalkan showroom. Roy lantas menutup showroom itu. Menguncinya dengan gembok baru. Yang kuncinya ia pegang semua. Keesokan harinya, kata Roy, papanya datang ke showroom itu. Gembok Roy dibuka paksa. Lalu dipasangi gembok milik papanya. Hari berikutnya Roy datang ke showroom itu. Ia membongkar paksa gembok papanya. Ia menggantinya dengan gembok baru lagi. Saling gembok terjadi. Tapi sampai tiga hari kemudian gembok terakhir Roy itu aman. "Berarti papa saya sudah rela showroom ini saya kuasai," ujar Roy. Sejak itu ia membuka showroom tersebut. Roy mengisinya dengan mobil dagangannya sendiri. Ia pun merasa aman. Ia merasa papanya sudah tidak mempersoalkan lagi. "Sebentar lagi saya akan ambil alih showroom yang di Jalan Indrapura," ujar Roy kepada saya. "Dengan cara yang sama?" tanya saya. "Iya," jawabnya. "Kalau semua showroom milik papa itu Anda ambil, lantas papa akan kerja apa?" tanya saya. "Liek Motor yang di Jalan Walikota Mustajab tidak akan saya ambil alih. Itu kebanggaan papa. Itu papa yang mendirikan dan papa yang merintis," kata Roy. "Kalau yang Ketabang Kali dan Indrapura itu saya yang membangun," ujar Roy. "Bahkan kantor saya dulu ya di Indrapura itu," katanya. "Apakah cukup kalau papa hanya menangani 1 bisnis," tegur saya. "Cukup. Itu besar. Kalau terlalu banyak uang papa nanti dugem lagi," ujar Roy. Sebagai ayah saya mengelus dada. Kok ada anak seperti itu. Untung anak saya tidak mengambil alih usaha saya. Bahkan saya minta untuk mengurusnya pun mereka tidak mau. Mereka pilih mengurus usaha yang mereka rintis sendiri. Saya selalu menyarankan kepada teman-teman saya sesama pengusaha. Yang umur mereka seumuran saya. Hendaklah mulai memberikan kepercayaan kepada anak yang sudah besar. Jangan sampai anak yang sudah besar masih dianggap anak kecil. Sebagian mengikuti saran saya. Atau mereka sendiri memang punya prinsip yang sama. Sebagian lagi tetap saja tidak mau mempercayakan pengelolaan perusahaan kepada anak. Orang punya prinsip sendiri-sendiri. "Roy..." tanya saya kepadanya "... menurut Anda papa itu sebenarnya sayang Anda atau tidak?" "Menurut perasaan saya, papa itu sayang saya," jawabnya tegas. "Mungkin semua kejadian tadi adalah cara papa mendidik saya," tambahnya. Tapi kalimat itu ia ucapkan Rabu lalu. Ia tidak menyangka bahwa keesokan harinya, Kamis kemarin, polisi menggerebek showroom di Jalan Ketabang Kali yang sudah seminggu ia kuasai itu. Papanya juga datang ke showroom itu. Terjadilah perang mulut antara anak dan bapak. Yang terekam di video. Lalu beredar luas di Surabaya. Roy sendiri ditangkap polisi. Saya tidak tahu itu. Padahal Roy sudah setuju podcast yang ia minta itu akan dilakukan Jumat pagi –hari pertama Imlek. Jumat pagi tim podcast saya sudah siap di Harian Disway. Roy tidak jadi datang. Mungkin ia di ruang tahanan. Berarti di malam tahun baru Imlek ia tidak jadi ke rumah papanya. Bahkan mungkin saja ia di tahanan. Tapi podcast telanjur siap. Maka saya tiru cara Najwa Shihab: mewawancarai Roy in absentia. Bedanya, saya sudah tahu jawaban Roy. Jadi, wawancara itu bisa 20 menit. Itulah podcast pertama setelah saya terkena Covid-19. Yang sudah diunggah ke YouTube tadi malam. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait