Perempuan dan Ular Hijau di Tandon Air Wonokitri (5 – habis)

Sabtu 16-01-2021,10:10 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Kakiku Dicengkeram, Pak Anton Diajak Mampir ke Rumah

Hampir satu jam aku berusaha melepaskan kaki dari entah apa yang amat kuat mencengkeram. Tapi tidak bisa. Padahal tidak tampak siapa-siapa di sekitar tempat itu. Juga tidak tampak apa-apa, meski lampu menyala temaram.   Aku tidak takut. Tidak. Bagiku suasana semacam ini adalah sego jangan yang sudah sangat sering kutemui. Sekadar contoh, ketika duduk di bangku SMP aku sudah diajari Eyang Buyut ilmu kanuragan. Salah satunya lembu sekilan.   Untuk bisa menguasai ilmu tersebut, aku harus menjalani puasa tiga hari. Bukan puasa biasa seperti puasa Ramadan, tapi dengan laku khusus.   Pertama harus diniatkan untuk menguasai ilmu itu. Niat dan rapalannya begini: Audzubillahi minnas syaito nirojim. Ingsun angaji asmaning Joho Keling. Sinuduk tan keno, tilanenan mrucut, binadil luput, teguh rahayu saking asmane Allah. La ilaha illallahh Muhammad Rasulullah.   Dalam puasa tiga hari itu, tidak ada buka puasa kecuali hanya minum seteguk air putih. Selain itu, pada hari ketiga tidak boleh tidur hingga terdengar azan Subuh hari keempat.   Bila semua dapat dilakukan dengan sempurna, puasa ditutup tumpengan untuk berbuka bersama sang guru. Saat tidak boleh tidur semalaman suntuk itulah, aku berdiam diri di permakaman untuk mencegah kantuk. Sendirian. Kini ilmu itu sudah kebuang, tidak ada faedahnya. Justru menjauhkan diri dari Yang Mahakuasa.   Sampai melewati pukul 22.00, kakiku masih terasa tercengkeram. Aku sudah membaca doa-doa ruqyah, namun tidak mengubah keadaan. Mulai Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, ayat kursi, serta ayat dan surat-surat ruqyah yang lain.   Akhirnya aku berdiam diri dan terus berzikir. Sesekali mencoba menyapa orang yang lewat, namun sepertinya mereka tidak mendengar. Ya sudah. Anggap saja sedang tirakat.   Hingga pukul 03.00, keadaan belum berubah. Pak Anton juga belum kembali ke tempat semula. Entah sejak pukul berapa, akhirnya aku tertidur. Bangun-bangun matahari sudah mulai meninggi. Karena Pak Anton belum kembali, aku pulang. Sesampai di gerbang perumahan, kami bertemu. Ternyata dia malah sudah pulang duluan. “Ke mana saja Pean semalam?” tanyanya.   Aku diam. Tidak menjawab, justru balik bertanya, “Kalau Njenengan?” Ternyata Pak Anton disamperin perempuan berbaju hijau, lantas diajak mampir ke rumahnya.   “Di mana rumahnya?”   “Sekitar situ-situ aja. Hanya berjalan beberapa langkah. Pokoknya asyik deh. Lebih asyik dari yang dulu. Waktu mau pulang, Pean tak lihat nggak ada. Ya sudah, aku langsung cabut pulang,” katanya dengan ceria.   “Dikasih sisik lagi?” tanyaku.   “Pean ingat sisik yang dulu? Ditawar tukang emas lima juta. Mau tak kasihkan. Tapi ketika kurogoh sakuku, ternyata tidak ada.”   “Hilang? Hilang di mana?”   “Gak tahu. Padahal sebelumnya ada.”   “Semalam dikasih lagi, kan?” tanyaku mengulang pertanyaan sebelumnya.   “Ya itu. Tadi Nyonya mengaku menemukan lagi sisik di CD-ku. Tak hanya satu, tapi berkeping-keping. Kulihat. Ternyata bukan sisik, tapi daun kering. Sekarang dirangkai jadi bandul kalung. Istriku kuberi tahu bahwa itu daun kering, tapi tidak percaya. Sekarang mungkin sedang dipakai,” kata Pak Anton dengan wajah bias.   Bersamaan dengan akhir kalimat itu, Bu Anton muncul sambil memamerkan kalung yang dia pakai. Bangga. Beberapa emak-emak mengikuti di belakangnya sambil senyam-senyum. Klecam-klecem. (habis)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email yulisb42@gmail.com. Terima kasih  
Tags :
Kategori :

Terkait