Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Ani sempat khawatir ada yang tahu perjalanan hidupnya ketika ada teman bertanya tentang Darmi. Sebab, bukan tidak mungkin Darmi bercerita ke sana-kemari. Tapi, beranikah dia, karena itu berarti membuka aibnya sendiri juga?
Tahu nggak Mbak, dua bulan lalu Darmi ditangkap polisi? Nggak tahu kenapa. Keluarganya tidak ada yang mengaku mengapa. Kabarnya sih terlibat jual-beli orang. Lha iya, masa orang kok diperjual-belikan. Kayak wedus saja, kata teman itu.
Untung lho Sampeyan dulu tidak dijual Darmi. Sampeyan kan juga pernah diajak kerja Darmi di Surabaya? imbuh teman itu.
Ani hanya menanggapi celotehan teman tadi dengan diam. Selain tidak tahu harus berkata apa dan bagaimana menanggapi, Ani takut salah ucap dan membongkar aibnya sendiri. Ani hanya manggut-manggut dan geleng-geleng.
Biarlah orang-orang tidak mengetahui kenyataan hidup Darmi, yang itu sedikit banyak bersinggungan dengan sejarah kelam hidup Ani juga. Ani akan diam saja selama tidak ada yang bertanya tentang dia dan Darmi dulu.
Andai ada yang bertanya juga, Ani bertekad akan menjawabnya dengan cerita yang bukan sebenarnya. Cerita palsu. Agar orang-orang tetap menghargainya sebagai perempuan terhormat.
Selama di desa, Ani sempat bertemu cinta monyetnya semasa di SMP. Namanya sebut saja Jono. Penampilannya tidak banyak berubah. Berwajah ganteng tapi berpenampilan culun, berotak cerdas tapi bergaya lugu. Bak orang lholhak-lholhok. Ternyata sampai sekarang dia masih menjomblo.
Dulu dia sempat merasa kehilangan ketika aku kabur bersama Darmi. Tidak kusangka sampai sekarang dia bertahan menjomblo. Entah serius atau guyon, dia mengaku masih menunggu aku. Sampai kapan pun. Bahkan sampai sekarang, meski tahu aku sudah menikah, kata Ani, yang menambahkan bahwa Jono kini menjadi anggota TNI AD dan berpangkat kapten.
Ani sempat miris. Tidak bisa membayangkan bagaimana penilaian masyarakat andai mereka tahu bahwa dirinya juga pernah diperjual-belikan Darmi, menjadi perempuan berbayar, dan akhirnya dientas suaminya yang sekarang.
Waktu 10 hari di desa akhirnya lewat. Artinya, Ani harus kembali ke Surabaya karena besok atau lusa Wawan, Ningsih, dan Koko juga akan kembali dari tanah suci. Dalam perjalanan, Ani ditelepon Ningsih.
Mengabarkan mereka sudah berada di Bandara King Abdul Azis untuk segera terbang ke Surabaya. Banyak cerita lain yang disampaikan. Termasuk kelucuan-kelucuan Koko ketika berada di samping Kakbah.
Koko yang digendong Wawan ketika bertawaf menarik perhatian Askar penjaga Kakbah. Anak tersebut diberi kesempatan untuk mencium Hajar Aswad. Ini amat menggembirakan Ningsih, Wawan, dan tentu saja Ani. Ani bahkan tidak menyangka sama sekali.
Pembicaraan dihentikan karena Ningsih, Wawan, dan Koko dipanggil masuk pesawat. Pembicaraan dibuka kembali sesudah mereka sampai di Surabaya. Ketika rombongan kecil ini sudah berada di taksi online.
Ani bercerita bahwa saat di desa dia sempat bermimpi. Dilihatnya Koko berubah menjadi burung raksasa, terbang rendah berkeliling Kakbah, dan melambaikan tangan kepadanya. Aku merindukannya, Mbak. Kira-kira apa ya arti mimpiku itu? kata Ani.
Ani sempat mendengar Wawan berbicara kepada Ningsih. Itu hanya mimpi. Tidak ada artinya. Hanya bunga tidur. Tidak usah dipikirkan artinya apa, suara Wawan terdengar di seberang telepon Ani. Pada saat bersamaan, terdengar bunyi brak! dan jeritan keras. Sambungan telepon terputus. (bersambung)