Perjuangan Perawat Puskesmas Kupang Segunting Melawan Virus Covid-19

Jumat 30-10-2020,09:02 WIB
Reporter : Aziz Manna Memorandum
Editor : Aziz Manna Memorandum

Surabaya, memorandum.co.id - Ini adalah sepenggal kisah Endang Fitria, perawat yang bertugas di Puskesmas Kupang Segunting, Kecamatan Tegalsari, Surabaya. Banyak suka dan duka yang dialami di masa pandemi. Wanita kelahiran Surabaya ini mempunyai tugas ganda. Yakni rela meninggalkan anaknya ke tempat penitipan sekolah dan berjuang menjadi petugas kesehatan di lapangan untuk memantau masyarakat yang terdeteksi covid-19. Indung, panggilan akrab Endang Fitria menghela napas panjang dan ramah saat ditemui di tempat tugasnya di Jalan Pandegiling. Dengan mengenakan alat pelindung diri (APD), dia mengisahkan keluh kesahnya saat melakukan pemantauan penyebaran covid-19 di daerah Kupang Praupan. "Sudah menjadi risiko tugas saya menjadi perawat," kata Endang, menghela napas panjangnya. Selama ini, Endang dikenal sebagai perempuan mandiri. Setiap hari dia harus meninggalkan dua anaknya, Rizky Ferimba (7) dan Ranu Ahsan Verano (5) untuk dititipkan di penitipan sekolah. Kemudian ia berangkat dari rumahnya di daerah Sukodono, Sidoarjo, pagi-pagi sekali, meruput dengan mengendarai sepeda motor matic untuk menjalani profesinya sebagai perawat di Surabaya. Dia baru pulang menjelang Isya' untuk menjemput anaknya dan pulang ke rumah. Maklum, tanggung jawabnya ini tak lepas sebagai ibu rumah tangga yang baik. Karena selama ini, suaminya, Farid Kurniadi, bekerja di Basarnas dan berkantor di luar kota. Beberapa bulan baru bisa pulang. "Ya dijalani saja," ujar lulusan SMAN 7 Surabaya ini. Beruntung, Endang ini dulu ikut organisasi pecinta alam semasa SMA-nya. Sehingga mentalnya terlatih dan terdidik hidup mandiri. Gunung di Jawa Timur seperti Gunung Penanggungan, Gunung Welirang, Gunung Arjuno, Gunung Semeru, Gunung Lawu pernah ia daki. Dari tempaan alam pegunungan itulah mental dan jiwa sabar melekat di jiwanya. Meski harus merawat kedua anaknya seorang diri karena suaminya sedang bertugas ke luar kota. Meski begitu, Endang, tentu saja sebagai ibu, tetap saja merasa was-was keluarganya terpapar covid. Agar keluarganya tidak terpapar covid-19, ia pun selalu menerapkan protokol kesehatan, yakni mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker bila keluar rumah. "Prokes ini selalu kami terapkan di keluarga," ungkap Endang. Setelah urusan di keluarganya beres, Endang juga melaksanakan tugas sebagai perawat. Yakni terjun langsung bersama kawan-kawannya ke lapangan untuk memantau masyarakat di daerah rawan terpapar covid 19. Seperti di Jalan Kupang Praupan, Jalan Kupang Segunting, Jalan Pandegiling, Pasar Kembang. Apalagi ketika Surabaya berada di zona merah dan rentan terpapar covid. Meskipun begitu, Endang tetap ikhlas menjalani tugasnya dengan harapan Surabaya terbebas dari covid. Dia berkeliling dari gang-gang di kampung yang dikunjunginya untuk melakukan swab kepada warga. Kurangnya kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan membuatnya harus jemput bola. "Saya ketuk pintu rumah warga untuk di-swab dan mengimbau agar selalu mematuhi protokol kesehatan, semisal memakai masker, menjaga jarak, dan selalu mencuci tangan agar tidak terpapar covid," imbau wanita berhijab ini. Menurut pantauannya, awalnya masyarakat canggung dengan memakai masker. Tapi lama-lama terbiasa. Apalagi dengan terbitnya Perwali 33 Tahun 2020 tentang protokol kesehatan. Masyarakat akhirnya juga menjadi takut. Endang juga sering berkunjung ke kampung-kampung untuk melakukan swab gratis terhadap warga. Tapi warga enggan datang karena memikirkan nasibnya dan keluraganya jika hasil swab positif. Dampaknya, warga langsung meninggalkan rumah untuk sementara waktu untuk menghindari swab dan didatangi petugas kesehatan. Bahkan, warga yang berjualan, juga menutup warungnya hingga pulang kampung ke daerah asalnya beberapa hari untuk menghindari swab. "Jadi kampung jadi sepi karena tidak ada yang mau datang untuk swab. Ya jalan satu-satunya mendatangi rumah masing-masing untuk swab warga," tukas Endang. Padahal, kata Endang, jika warga diperiksa dan swab hasilnya positif maka akan dikarantina. Selama karantina diberi makan, diberi obat, dan keluarganya juga ditanggung pemerintah. Selama ini masyarakat jika dikarantina selalu memikirkan nasib keluarganya dan cari uang ke mana, siapa yang menanggung biaya hidup sehari-hari, bayar sekolah, dan urusan domestik lainnya. "Ini yang menjadi masyarakat tetap tidak mau menerima dan bersikukuh pada pendiriannya, sehingga tidak mau ikut swab," jelas wanita kelahiran Surabaya Juni 1982 ini. Ada nilai plus selama pandemi covid berlangsung. Kini suaminya, Farid lebih banyak bekerja di rumah. Sedangkan bapaknya, Oerip menemani kedua anaknya. Jadi kerjanya jadi fokus dan tidak mikir lagi. Meski terkadang tetap pulang dari puskesmas malam hari. "Dulu bapak tinggal di daerah Klampis, terkadang kedua anak saya titipkan ke sana jika saya bekerja," jelas Endang.(rio)

Tags :
Kategori :

Terkait