Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Perkawinan si janda kembang Sukeng vs si jomblo Matrukan digelar sederhana. Tak banyak yang diundang. Hanya ada keluarga, kerabat dekat, dan tetangga kiri-kanan.
Pascaresepsi pernikahan, Sukeng dan suami tinggal di rumah orang tua Matrukan. Sebenarnya Matrukan berniat kontrak rumah di sekitar masjid tempat dia mengajar ngaji atau sekitar sekolah. Tapi, niat itu ditentang orang tuanya karena Matrukan adalah anak tunggal.
“Menikah dengan guru, apalagi juga dikenal sebagai ustaz, gaya hidup Sukeng ikut berubah. Dia memakai jilbab panjang dan penutup wajah. Mereka hidup bahagia,” kata sang pengacara.
Sayang, hingga perkawinan berjalan hampir tiga tahun, Sukeng belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Mereka sudah berupaya ke dokter dan mengonsumsi obat-obatan herbal, tapi ternyata upaya itu tidak membuahkan hasil.
Matrukan sempat putus asa, sebab dalam riwayat keluarganya, memang tidak ada yang mudah mendapatkan keturunan. Ia khawatir: jangan-jangan dia malah tidak bisa memiliki keturunan. Kakeknya adalah anak tunggal, ayahnya juga, begitu pula dirinya. Dan, rata-rata para sesepuhnya sudah berumur ketika memiliki anak.
Orang tua Matrukan, misalnya. Mereka baru bisa menggendong Matrukan pada saat ayahnya berusia 40 tahun dan ibunya 38 tahun. Ini yang menggelisahkan Matrukan.
Kakek-neneknya lebih menyedihkan. Neneknya baru melahirkan ayahnya pada usia 42 tahun. Dan ironis, si nenek meninggal pada proses kelahiran. Tak lama berselang, hanya sekitar setahun kemudian, kakeknya menyusul si nenek. Jadi, ayahnya sudah yatim piatu sejak berumur setahun.
Inilah yang menggelisahkan Matrukan. Ia takut hal serupa terjadi pada dirinya, bahkan mungkin lebih jelek lagi. Diakui, sebenarnya Matrukan sudah tahu bahwa hidup, mati, dan lahir adalah kehendak Yang Mahakuasa. Tapi sebagai manusia, dia tidak bisa menghapus bayang-bayang buruk tadi.
“Kata Sukeng, suaminya menjadi seperti orang stres. Depresi. Sering nyleleng. Kalau diingatkan, responsnya cuma senyum atau bilang begini, ‘Ndak ada apa-apa kok.’ Sukeng khawatir terjadi apa-apa pada Matrukan,” tambahnya.
Beberapa hari kemudian terjadi sesuatu yang aneh. Matrukan yang biasanya selalu pamit saat hendak berangkat kerja, hari itu kluyar-kluyur begitu saja. Dia mengambil tas, menstarter motor, lantas weeeng… pergi. Tak ada satu kata pun terucap dari mulutnya, walau Sukeng melihat bibir suaminya terus bergerak-gerak. Aneh.
Setengah jam kemudian, dua polisi berpakaian dinas mengetuk pintu rumah. Kedua mertuanya yang sedang duduk-duduk di ruang tamu berjalan pelan membukakan pintu.
Mereka tampak bercakap-cakap serius ketika Sukeng datang. Pandangan kedua polisi itu spontan beralih kepadanya. Ketika dia mendekat, satu di antara kedua polisi tadi mengisyaratkan agar Sukeng mengikuti dirinya agak menjauh.
Saat itulah Pak Polisi menginformasikan bahwa Matrukan mengalami kecelakaan di depan sekolah. Motornya hancur dilindas truk trailer, sementara pengendaranya terlempar menghantam pohon di pinggir jalan.
Sukeng segera diajak kedua polisi tadi ke tempat kejadian perkara. Begitu melihat Matrukan yang sudah dipindahkan warga ke rumah penduduk, Sukeng segera berlari. Dirangkulnya sang suami. Napasnya tersengal dan terdengar lirih ucapan, “Lailaha ilallah.” Tampaknya napas terakhir Matrukan terembus di pangkuan Sukeng. (bersambung)