Bulan berdiri, berjalan ke dapur, lalu kembali dengan selembar kertas kecil—daftar belanja bulanan yang sudah penuh coretan. “Tiap bulan aku nyari cara nutup kebutuhan. Kamu tahu itu? Kamu tahu berapa kali aku harus menahan malu pinjam ke saudara? Kamu tahu aku begadang demi cari proyek sampingan?”
Bintang hanya bisa diam.
“Kamu merasa tak dihargai,” lanjut Bulan,” tapi apakah kamu pernah menghargai aku? Atau kamu cuma mencari alasan agar bisa merasa benar ketika berbuat salah?”
Air mata Bulan menetes, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. “Mas, aku ini istri, bukan penonton hidupmu. Aku bukan pajangan rumah yang kamu lewati setiap hari.”
Bintang berdiri. “Aku minta maaf.”
“Maaf tidak menghapus rekaman itu,” sahut Bulan cepat.
“Lalu kamu mau apa, Bul?”
Pertanyaan yang seharusnya Bulan tanyakan sejak lama.
“Aku gak mau buat keputusan sekarang,” jawab Bulan. “Aku butuh waktu. Bukan untuk memaafkanmu tapi untuk melihat apakah kita masih bisa diperbaiki.”
Bintang mendekat, namun Bulan mundur selangkah. “Tolong hormati ruangku. Kamu punya ruangmu selama ini, kan? Sekarang beri aku ruang juga.”
Bintang mengangguk pelan. “Baik. Tapi aku mau kita tetap keluarga.”
Bulan menatapnya lama sekali. “Kalau kamu ingin keluarga, kamu harus belajar jadi suami. Bukan hanya tinggal di rumah. Tapi hadir.”
Kalimat itu adalah tamparan nyata, lebih keras daripada semua rekaman CCTV yang pernah ia tonton.
Malam itu, Bintang tidur di ruang tamu. Bukan karena diusir, tapi karena ia tahu untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka, Bulan butuh dinding untuk melindungi dirinya dari luka yang ia tidak ciptakan, tapi terpaksa ia tanggung.
Dan di balik pintu kamar, Bulan menangis tanpa suara. Bukan karena kehilangan suami… tetapi karena kehilangan rasa aman yang selama ini ia kira tidak akan pernah hilang.