Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Eli sudah tidak tahan menyimpan rahasia besar ini seorang diri. Dia bertekad sesampai di rumah nanti akan menyampaikannya kepada Mala. Sudah tidak bisa ditunda. Harus!
Eli tidak pernah membayangkan sosok yang selama ini dia hormati ternyata berperilaku menyimpang seperti itu. Anggota LGBT (lesbi, gay, diseksual, dan transgender). Sesuatu yang dikutuk Allah.
Eli juga menyayangkan lelaki dengan fisik sempurna tersebut terjerat ranjau kemaksiatan senista itu. Padahal, Mala merupakan perempua cantik yang jadi idola banyak orang. Bukan hanya bunga desa, dia layak dijuluki bunga kabupaten.
Selama perjalanan pulang sore harinya, Eli merancang kalimat-kalimat yang akan disampaikan ke Mala. Tidak mudah, tapi Eli terus berusaha. Saking tidak yakinnya terhadap diri sendri, Eli sampai menuliskan rancangan kalimat-kalimat dadi. Dia berharap Mala memahaminya tanpa harus merasa terlalu tersakiti.
Benarkah bisa semudah itu menyampaikan kabar penyelewengan seorang suami kepada istri? Apalagi ini bukan penyelewengan biasa. Hatinya berperang. Saling tarik-ulur.
Hingga sampai rumah, Eli belum menemukan format kalimat yang tepat untuk disampaikan kepada Mala. Eli malah dikejutkan kenyataan bahwa saat itu Wahyu sudah berada di rumah. Sedang makan malam.
Eli dan seorang teman yang indekos di rumah tersebut, sebut saja Ningsih, langsung bergabung. Makan malam itu menjadi moment yang menyiksa bagi Eli. Bayangan kemesraan Wahyu dengan teman lelakinya terus membayang.
Eli tidak berani menatap wajah Wahyu. Takut lelaki tersebut tahu bahwa Eli sudah tahu semua realita busuknya. Gadis bermata rembulan itu tidak sanggup menghabiskan makananannya. Dia minta izin meninggalkan tempat lebih dulu.
Tapi baru hendak menapakkan langkah, Wahyu menyebut namanya. “Eli.”
Dada Eli berdetak keras. Dia takut apa yang dia khawatirkan tadi jadi kenyataan. “Sabtu depan ada acara nggak? Mas Wahyu ingin mengajak kalian bertiga week end di Batu. Mas Wahyu menemukan persewaan vila yang bagus,” imbuh Wahyu.
Tensi kekhawatiran Eli menurun. Detak jantungnya kembali normal. “Maaf Mas, Eli ada acara sendiri. Menyelesaikan skripsi beramai-ramai dengan teman-teman. Kebetulan ada yang memiliki vila,” katanya.
Teryata Mala juga menolak. Demikian jula Nia. Dia beralasan sepupunya di desa akan menikah. Dia harus rewang-rewang. “Tapi cuma sehari kok. Minggunya aku sudah balik ke sini.”
Hari Sabtu sudah tiba. Seisi sibuk dengan urusan masing-masing. Mala bersiap diri akan menghadiri arisan, Nia pulang kampung menghadiri pernikahan sepupu, Eli hendak menyelesaikan tugas skripsi. Hanya Wahyu yang tidak punya agenda acara karena rencananya mengajak week end ditolak secara aklamasi.
Eli akhirnya berangkat ke Batu. Ke vila yang sama dengan yang acara Sabtu-Minggu pekan sebelumnya. Hampir seharian waktunya habis untuk acara membahas bahan-bahan skripsi.
Selepas Ashar, Eli mencari udara di lantai dua. Tempatnya bakar-bakar pekan lalu. Sepi. Hanya ada embusan angin. Tiba-tiba secara samar terdengar bunyi air dibelah. Kecipak.
Dengan malas Eli menoleh ke asal suara. Ternyata dari vila yang pekan lalu dijadikan tempat indehoi Wahyu dengan rekan lelakinya. Terlihat dua lelaki dengan hanya memakai celana dalam berkubang di kolam.
Terburu-buru Eli mencari teropong. Dapat. Eli langsung mengarahkan moncong teropong ke kolam renang. Di balik teropong, Eli kembali menyaksikan Wahyu beradegan mesra dengan seorang lelaki. Tapi, kali ini lebih agak tua dibanding pekan lalu.
Samar-samar terlihat pergumulan seru. Seperti singa padang pasir bertarung vs kuda nil Mesir. Panas. Eli mencari-cari titik focus teropong. Dan… duh Gusti… ternyata lawan bergumul Wahyu adalah pamannya, Supriadi. Sosok yang menjodohkan Mala vs Wahyu. (bersambung)