SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID - Polemik penarikan pajak reklame yang menyasar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Surabaya memasuki babak baru. Komisi B DPRD Kota Surabaya menyoroti tajam kebijakan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Surabaya yang menagih pajak terhadap empat sisi kanopi atau resplang SPBU, termasuk sisi yang tidak terlihat oleh publik karena berhadapan langsung dengan tembok.
Mini Kidi--
Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan mediasi kedua antara Bapenda Surabaya dengan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Surabaya yang difasilitasi oleh Komisi B DPRD Surabaya pada Senin 4 Agustus 2025.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochammad Machmud, secara terbuka mempertanyakan logika di balik kebijakan tersebut.
BACA JUGA:BK DPRD Surabaya Tak Temukan Pelanggaran Etik Anggota Komisi B dalam Kasus Aduan Pengelola Apartemen
Menurutnya, penarikan pajak pada sisi belakang resplang yang tidak memiliki nilai promosi adalah tindakan yang tidak masuk akal.
"Ini yang kami pertanyakan ke Bapenda. Bagaimana bisa sisi belakang yang menghadap tembok dianggap sebagai reklame? Katanya ini perintah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tapi sampai sekarang surat resmi dari BPK tidak pernah ditunjukkan kepada kami," tegas Machmud.
Kekecewaan serupa juga disuarakan oleh pihak Hiswana Migas. Penasihat hukum mereka, Ben D. Hadjon, menilai kebijakan Bapenda tidak hanya keliru secara interpretasi, tetapi juga melanggar asas hukum universal.
Ia menyoroti penagihan pajak yang ditarik mundur hingga lima tahun ke belakang dengan dasar Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2023.
"Ketetapan pajak yang merujuk pada perda tahun 2023 tetapi ditarik mundur jelas bertentangan dengan asas larangan retroaktif. Ini pendekatan yang tidak proporsional," ujar Ben.
Ben juga menegaskan bahwa elemen warna pada kanopi SPBU, seperti warna merah khas Pertamina, merupakan identitas korporat dan bukan unsur promosi yang serta-merta dapat dikategorikan sebagai reklame kena pajak.
Ia membandingkan implementasi di Surabaya dengan kota tetangga seperti Sidoarjo dan Gresik, bahkan dengan DKI Jakarta yang memiliki definisi reklame identik dalam Perda, namun tidak memberlakukan kebijakan serupa.
BACA JUGA:Dilaporkan ke Badan Kehormatan, Ketua Komisi B DPRD Surabaya: Kami Punya Data Lengkap
"Kenapa hanya di Surabaya yang implementasinya berbeda? Ini yang kami nilai tidak rasional," tambahnya.