Alunan Ar-Rahman Melahirkan Cinta tanpa Tatap Muka

Kamis 14-02-2019,09:02 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Yuli Setyo Budi, Surabaya Cerita ini keluar dari bibir perempuan (mungkin) syantik yang mengaku berusia 33 tahun. Memorandum menulis mungkin karena perempuan tersebut memakai jilbab dan bercadar. Lagipula, Memorandum tak bertemu langsung dengannya, melainkan menulis berdasarkan video yang diambil istri dari majelis ilmu di sebuah masjid kawasan Wiyung, beberapa waktu lalu. Perempuan syantik tadi, sebut saja Khadijah, kelahiran Lamongan. Sejak kecil dia menuntut ilmu di pesantren. Kisah cintanya juga terjadi di lingkungan pesantren dan jadi inspirasi banyak orang. Pengakuan Dijah, kali pertama dia mengenal suaminya bukan dari wajah atau tatap muka. Tapi, dari suara. “Waktu itu aku sedang salat Tahajut di kamar asrama,” cerita Dijah. Dari corong masjid tiba-tiba mengalun murotal Alquran. Tidak seperti biasa, kali ini suara tadi terdengar dibacakan secara live. Bukan alunan suara rekaman dari tape recorder atau fash disk. Dijah yang baru mengucapkan salam pada rakaat kedelapannya terpana. Ia terdiam cukup lama dan seperti terhipnotis suara tadi. Surat Ar-Rahman yang dialunkan dengan lagu bayati tersebut seperti mengelus-elus dadanya. Dijah merasa nyaman dan tenteram. Dijah penasaran. Pada saat salat Tahajut keesokan harinya, konsentrasi santriwati berprestasi ini terganggu. Rakaat demi rakaat diwarnai penantian munculnya alunan suara seperti sehari sebelumnya. Sampai-sampai, Dijah lupa sudah berapa rakaat Tahajut yang sudah dia jalani. Dijah akhirnya memutuskan menghentikan Tahajutnya dan menutup dengan witir yang hanya satu rakaat. Selanjutnya Dijah berzikir memuji kesucian, keagungan, dan kebesaran Allah. Namun, zikir itu dilakukan tidak dalam kekhuyukan penuh. Hatinya berharap suara yang kemarin kembali mengumandang. Dan alhamdulillah, tak lama kemudian suara itu muncul. Kali ini, suara bening pemuda yang entah siapa itu mengalunkan penggalan surat Al-Baqarah dengan lagu bervariasi: jawab dan jawabul jawab. Sayang, ternyata itu adalah yang terakhir. Sebab, suara serupa tidak terdengar lagi pada malam-malam sesudahnya. Dijah penasaran dan memutuskan mencari informasi siapa pemilik suara merdu tadi. Dari beberapa seniornya, Dijah mendapat jawaban bahwa pemilik suara tadi adalah  Mohammad Azam (samaran), mahasiswa semester akhir Al-Azhar Mesir. Dia cuti dan sengaja sowan kiai sepuh pemangku pondok yang pernah membesarkannya. Di pesantren ini, dulu, Azam dikenal sebagai seorang hafiz. “Masih penasaran, aku bertanya kepada beberapa kiai dan nyai: siapa sebenarnya Kak Azam. Ternyata mereka menjawab pertanyaanku disertai senyum. Dua hari kemudian aku dipertemukan dengan Kak Azam,” aku Dijah. Dengan hati berdegub Dijah mempersiapkan diri untuk bertemu Azam. Tapi tidak seperti yang dibayangkan, pertemuan tersebut terjadi tak lebih dari satu menit. Menjelang Ashar, Dijah dipanggil Bu Nyai. Dia diminta datang ke masjid kompleks pesantren. Ternyata saat itu Azam sedang berdikusi dengan santri-santri pria di salah satu sudut masjid. Entah apa yang mereka diskusikan. “Kami (Bu Nyai dan Dijah, red) di ruangan kantor sebelah masjid. Kak Azam dipanggil Bu Nyai dan diperkenalkan denganku,” aku Dijah. “Kenalkan, ini Khodijah yang akan meneruskan estafet kamu ke Al Azhar. Nanti, tolong informasikan apa-apa saja yang perlu dipersiapkan untuk jadi mahasiswa di sana. Jangan sampai mempermalukan,” kata Bu Nyai tegas. “Insha Allah,” jawab Azam pendek, terus balik badan dan kembali ke majelisnya. (bersambung)  

Tags :
Kategori :

Terkait