Ketua Komisi A DPRD Surabaya Soroti Prostitusi Terselubung dan Desak Pemkot Bertindak Tegas
Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, saat menyampaikan peringatan tentang prostitusi terselubung.--
SURABAYA, MEMORANDUM.CO.ID – Ketua Komisi A DPRD Kota Surabaya, Yona Bagus Widyatmoko, memperingatkan maraknya praktik prostitusi terselubung di Kota Pahlawan, Senin 17 November 2025.
Fenomena ini dinilai mengancam moral generasi muda dan berpotensi mencoreng reputasi Surabaya yang sebelumnya sukses menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.

Mini Kidi--
Politisi Partai Gerindra itu mendesak Pemerintah Kota Surabaya agar tidak lengah dan meminta Satpol PP, Bapemkesra, serta jajaran kewilayahan seperti Camat dan Lurah mengambil langkah tegas dan konkret.
“Kami berulangkali mengingatkan Pemkot Surabaya melalui Satpol PP serta Bapemkesra yang menaungi lurah dan camat untuk tegas melakukan tindakan jika ada tempat-tempat yang ditengarai digunakan sebagai lokasi prostitusi,” ujar Yona.
BACA JUGA:DPRD Surabaya Apresiasi Komitmen Pemkot Beri Anggaran Khusus Pemuda Rp5 Juta per RW
Cak Yebe menekankan prostitusi di Surabaya kini bermetamorfosis dalam berbagai bentuk, baik konvensional maupun berbasis digital. Ia menyoroti penyalahgunaan izin usaha di lapangan.
“Termasuk tempat pijat tradisional berizin Pelayanan Kesehatan Tradisional dan penginapan yang diduga dipakai untuk layanan prostitusi online,” jelas Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya tersebut.
Ia menambahkan, rumah kos dan wisma yang tampak tertutup secara formal sering menjadi sarang prostitusi terselubung yang sulit dideteksi tanpa pengawasan ketat.
BACA JUGA:Surabaya Defisit 1.500 Guru, Komisi D DPRD Desak Pemkot Segera Konsultasi ke Pusat
Sejumlah titik klasik masih berdenyut meski kerap ditertibkan. Di kawasan Moroseneng, hingga Oktober 2025, Satpol PP Kecamatan Benowo harus melakukan patroli setiap hari dari pukul 23.00 hingga 04.00 WIB.
Fakta mengejutkan juga muncul dari kawasan eks lokalisasi Dolly. Pada 16 November 2025, petugas mengamankan dua pekerja seks komersial (PSK) dan dua muncikari di Gang Dolly Putat Jaya Timur III B.
Cak Yebe menegaskan praktik ini jelas melanggar hukum, mencakup Pasal 296 dan 506 KUHP, UU ITE dengan ancaman denda hingga Rp 1 miliar, serta UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun.
“Maraknya praktik prostitusi terselubung baik konvensional maupun digital jelas melanggar regulasi,” tegasnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat dan pemerintah bersinergi untuk menjaga prestasi penutupan Dolly di era Wali Kota Tri Rismaharini.
“Dampak besar prostitusi adalah merusak moral generasi muda dan citra Surabaya. Penutupan Dolly menjadi prestasi yang mengakhiri label Surabaya sebagai kota dengan wisata esek-esek terbesar di Indonesia,” paparnya.
Cak Yebe menekankan, tanpa komitmen semua pihak, upaya memberantas penyakit masyarakat ini akan berakhir sia-sia.(alf)
Sumber:



