Aku Istrimu, Bukan Bonekamu: Diam yang Terlalu Lama (1)
-Ilustrasi-
BULAN terbiasa menelan kata-kata. Sejak awal menikah, ia belajar bahwa diam sering dianggap sebagai bentuk pengertian. Jika Bintang pulang dengan wajah kusut dan nada tinggi, BULAN memilih menyingkir ke dapur. Jika keputusan diambil sepihak, BULAN mengangguk. Ia meyakini satu hal: rumah tangga butuh kesabaran.
Namun, kesabaran yang tak berbatas lama-lama berubah menjadi penjara.

Mini Kidi--
Malam itu, Bintang pulang lebih awal dari biasanya. Ia melempar tas ke sofa dan membuka kancing kemeja dengan kasar.
“Kenapa air galon habis?” tanyanya tanpa menatap.
“Baru mau aku pesankan, Mas. Tadi anak-anak—”
“Alasan terus,” potong Bintang. “Kamu itu di rumah ngapain saja?”
Bulan terdiam. Kata-kata berputar di kepalanya, tapi tak ada yang berani keluar. Ia menatap lantai, menghitung ubin, seperti biasa. Anak-anak mengintip dari balik pintu kamar. Bulan tersenyum kecil pada mereka, memberi isyarat agar kembali tidur.
Di dapur, Bulan mengaduk sayur yang sudah dingin. Tangannya gemetar. Bukan karena takut, tapi karena lelah. Ia ingat hari-hari ketika pendapatnya dianggap berisik, ketika mimpinya dianggap remeh.
“Ngapain kerja? Di rumah saja. Urus anak,” kata Bintang dulu. Bulan menurut. Ia berhenti bekerja, memusatkan hidupnya pada keluarga.
Beberapa bulan terakhir, suara Bintang semakin keras. Ucapannya semakin tajam.
“Kamu itu tanpa aku apa?”
Kalimat itu menempel di dinding kepala Bulan, bergaung lama setelah Bintang tertidur.
Suatu siang, Bulan mengantar anak-anak ke sekolah. Di gerbang, ia melihat seorang ibu menjemput sambil tertawa, berbagi cerita tentang pekerjaannya. Bulan tersenyum dan untuk pertama kalinya, ia merasakan rindu pada dirinya sendiri yang dulu. Perempuan yang punya suara, pilihan, dan keberanian.
Sumber:


