Dark Marketing: Ketika Viral dan Buli Jadi Strategi
Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--
Di era digital, batas antara promosi dan provokasi semakin menipis. Popularitas kini sering lahir bukan dari prestasi, melainkan dari kontroversi.
Fenomena ini melahirkan wajah baru dalam dunia komunikasi publik dark marketing, strategi yang memanfaatkan sensasi, konflik, bahkan buli untuk meraih perhatian.
Dalam logika dark marketing, semua emosi negatif dianggap peluang. Semakin banyak yang marah, semakin tinggi tayangan; semakin viral perdebatan, semakin besar eksposur.
Kebenaran dan empati perlahan kehilangan tempatnya di tengah algoritma yang lebih menghargai keramaian daripada kebaikan.
Fenomena ini tampak nyata di stadion, tempat yang seharusnya menjadi simbol sportivitas dan solidaritas.
Kini, banyak penonton datang bukan untuk mendukung, tetapi untuk merekam bukan untuk berteriak karena cinta, tapi karena ingin viral.
Kamera ponsel menjadi senjata baru di tribun, dan empati menjadi korban pertama dari budaya eksposur tanpa batas.
Kasus viral penghinaan terhadap Bardu, influencer disabilitas yang diejek “Kepiting Alaska”, memperlihatkan bagaimana batas moral publik semakin rapuh.
Sebuah ejekan yang seharusnya memalukan malah dijadikan konten, diperbincangkan, dan dijual sebagai hiburan. Permintaan maaf memang sudah disampaikan, dan korban pun telah memaafkan tetapi luka sosial dan pesan yang tertinggal jauh lebih dalam.
Permintaan maaf tidak serta-merta menghapus nilai dari sebuah perbuatan. Dalam konteks hukum, penghinaan tetap diatur dalam Pasal 310 dan 315 KUHP, serta Pasal 27A dan 28 UU ITE.
Dalam konteks moral, permintaan maaf tidak cukup jika perilaku serupa terus dijadikan alat pemasaran. Dan dalam konteks bisnis, ini melanggar etika dasar komunikasi dan pemasaran, yaitu prinsip fairness, respect, dan integrity.
Strategi berbasis dark marketing bahkan jika dikemas dengan dalih “sudah selesai secara damai” tetap tidak dapat dibenarkan. Sebab di balik viralitas yang menguntungkan ada nilai kemanusiaan yang dikorbankan.
Dalam dunia bisnis dan media, etika bukan sekadar aturan tambahan, melainkan fondasi kepercayaan. Sekali sebuah merek, lembaga, atau individu kehilangan integritasnya, maka segala bentuk eksposur hanya menjadi topeng kosong di mata publik.
Kita boleh memaafkan, tapi tidak boleh menormalisasi. Kita bisa memberi ruang maaf, tapi tidak boleh memberi ruang pada strategi yang menjadikan rasa malu dan penderitaan sebagai bahan promosi.
Karena dalam dunia yang semakin bising oleh sensasi, hanya mereka yang menjaga etika yang akan tetap didengar.
Viral bisa dibeli, tapi kepercayaan hanya lahir dari kejujuran. Dan di tengah derasnya arus konten, integritas tetap satu-satunya hal yang tak bisa digantikan.
Sumber:

