Penonton FOMO dan Hilangnya Marwah Sepak Bola
Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--
STADION seharusnya menjadi tempat di mana semangat, nyali, dan kebanggaan bertemu.
Tempat di mana para pemain berjuang untuk lambang di dada, dan suporter berteriak dari hati demi kehormatan klubnya.
Tapi kini, suasananya berbeda. Di tengah sorak sorai dan gemerlap lampu, stadion perlahan berubah menjadi studio. Tribun bukan lagi ruang perjuangan, tapi panggung konten.
Fenomena penonton FOMO takut ketinggalan momen kini menjadi wajah baru di tribun sepak bola.
Mereka datang bukan karena cinta pada klub, tapi karena ingin “ada di sana” ketika viral terjadi. Kamera ponsel selalu siaga, bukan untuk merekam sejarah tim, tapi untuk merekam diri sendiri.
BACA JUGA:Timnas Indonesia dan Luka Bernama Kegagalan
BACA JUGA:Naturalisasi dan Pencarian Jati Diri Sepak Bola Indonesia

Mini Kidi--
Setiap chant, setiap gol, setiap kericuhan pun dijadikan bahan tayangan semua demi validasi digital.
Padahal, di balik euforia itu, ada batas hukum yang dilanggar. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa perekaman dan penyebaran ulang pertandingan tanpa izin merupakan pelanggaran hak siar.
Lebih jauh, ketika konten dari dalam stadion digunakan untuk tujuan komersial baik monetisasi media sosial, promosi merek, atau endorsement pelakunya berpotensi terjerat pidana dan denda hingga miliaran rupiah.
Stadion bukan ruang bebas, ia diatur oleh lisensi, hak siar, dan etika publik.
Namun yang paling mengkhawatirkan bukan sekadar soal hukum, melainkan soal jiwa. Marwah stadion, yang dulu dikenal sebagai “neraka bagi lawan,” kini terasa memudar.
Sorakan tulus digantikan oleh senyum ke kamera, kebersamaan berubah menjadi persaingan konten. Kita kehilangan atmosfer yang membuat sepak bola begitu hidup gairah, solidaritas, dan rasa memiliki yang tak bisa digantikan oleh algoritma.
Sepak bola adalah teater rakyat, bukan konten digital. Ia lahir dari rasa, bukan dari followers. Jika stadion hanya jadi latar belakang untuk keperluan pribadi, maka semangat kolektif itu akan mati perlahan.
Kita butuh penonton yang datang bukan karena takut ketinggalan, tapi karena tak ingin kehilangan cinta pada klubnya. Karena stadion seharusnya tetap menjadi tempat di mana suara, bukan kamera, menjadi nyawa permainan.
Dan ketika semangat itu kembali hidup, barulah stadion bisa disebut lagi rumah bukan studio.
Sumber:



